Bomo Dulu, Dokter Kemudian

Catatan dari Ekspedisi Kebudayaan Sungai Siak

MATAHARI baru saja terbenam, lampu pijar 15 watt dari genset desa terang temaram menerangi ruangan 5 x 6 meter persegi. Di salah satu sudut ruangan, berdekatan dengan pintu tengah menuju ruang tamu, tampak 4 batang lilin berjejer yang terbuat dari lilin sarang lebah yang didirikan di atas wadah yang berisi air kembang. Di tengah ruangan, satu setengah meter dari ramuan-ramuan tadi, tergeletak kursi siap pakai yang dibuat dari batang pisang yang dihiasai daun kelapa muda membentuk janur-janur yang berukir bunga dan rumpun-rumpun bambu. Beberapa pihak keluarga masih sibuk menata beberapa perlengkapan yang telah dipersiapkan dari subuh tadi.
Beberapa tamu, dan juga 4 orang  tim ekspedisi duduk berjejer di dinding ruang keluarga sambil mempersiapakan peralatan rekam masing-masing. Suasana begitu senyap, hening dan yang ada hanya bau kemenyan menyengat hidung membuat bulu tengkuk berdiri. Tak berapa lama kemudian, seseorang yang ditunggu-tunggupun datang, ia memakai sarung, baju kemeja kotak-kotak dan peci putih menutupi kepala.
“Ini Bomo, beliau baru saja mengambil wudhu dan shalat, beliau nanti yang akan melakukan pengobatan ini” jelas Pak Surya pemilik rumah kepada penulis. Sang Bomo yang belakangan kami ketahui bernama Ernalis atau lebih dikenal panggilan Pak Can merupakan warga asli kampung, yang namanya sudah dikenal hingga ke tetangga sebelah.
Pengabotan yang dimaksud Pak Surya adalah pengobatan Gengulang Puteh serba tujuh daun, bunga dan hiasan. Pengobatan ini merupakan langkah kedua setelah pengobatan Ayie Sibuyung yang berfungsi melihat sakit si pasien. Jika seandainya pada Gengulang Puteh si sakit tidak juga sembuh maka dilakukan proses selanjutnya yaitu Gengulang Kuning Muda serba lima yang memiliki lima daun, bunga, dan hiasan. Jika tidak juga sembuh maka dilakukan Gengulang Kuning Tua serba tiga yang memiliki tiga daun, bunga dan hiasan. Dan yang terakhir Gengulang Puteh Buyung Tunggal. Jika tidak juga sembuh, maka si Bomo tidak mampu lagi melakukan pengobatan.
Pengobatan Gengulang hampir sama dengan babalian atau pengobatan tradisional lainnya di Riau seperti Buwuang Kuayang, Turun Jin, dan lain-lain.
 “Masyarakat  sini sudah menjadi tradisi kalau sakit harus berobat ke Bomo dulu sebelum ke dokter,” tutur Pak Ernalis atau lebih dikenal di dengan panggilan Pak Can, Bomo yang juga sekaligus tokoh masyarakat Muara Bungkal ini tidak hanya “spesialis” dalam mengobati yang sakit, tapi juga sebagai Bomo dalam prosesi nikah kawin.
“Jam terbang” Pak Can juga terbilang cukup tinggi, ia tidak hanya mengobati atau Bomo dalam prosesi nikah kawin di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung tetangga yang berdekatan dengan Muara Bungkal.
“Jika mau melihat nikah kawin, datanglah nanti ke Kampung Lubuk Jering, nanti saya juga di sana”, tawar Pak Can kepada tim ekspedisi.
Ritual Gengulang yang disaksikan tim ekspedisi merupakan suatu kebetulan, Ketika tim ekspedisi singah di Kampung Muara Bungkal, salah seorang warga ada yang sakit dan akan dilakukan pengobatan Gengulang. Setelah minta izin ke tuan rumah dan sang Bomo, kamipun diberi kesempatan melihat ritual pengobatan tersebut.
Prosesi pengobatan di mulai dari pukul 20.00 Wib, diawali dari Sang Bomo memantrai 4 air kembang yang berisi 7 macam bunga, 7 macam bedak, dan 7 macam kembang (bertih), dan peralatan lainnya sepereti mayang, lilin yang dibuat dari lilin lebah, daun kelapa muda, dan sebuah kursi yang dibuat dari batang pisang dihiasi dengan berbagai bentuk daun kelapa muda. Semua peralatan tersebut telah disediakan oleh tuan rumah atau keluarga si sakit.
Setelah hampir satu jam, si pasien di panggil dan dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Sang Bomo lalu memantrai dan menyebarkan bunga, daun, dan kembang sambil mengelili pasien berualng-ulang sebanyak 21 kali yang dibagi menjadi 3 bagian. Setiap bagian sang Bomo menggunakan peralatan yang berbeda. Bagian pertama menggukan mayang, bagian kedua semacam cambuk yang terbuat dari daun kelapa muda, dan bagian ketiga semacam rumpun bunga yang juga terbuat dari daun kelapa muda. Dibagian akhir dari prosesi pengobatan, si pasien dimandikan dengan air kembang*** [Derichard H. Putra]

Dipublikasikan di www.kompasiana.com, 12 Juni 2011
http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/12/bomo-dulu-dokter-kemudian/ 

One Comment

Silakan tinggalkan komentar dan saran Anda di ruang kosong di bawah ini.

Back to Top