Maret 2012

Parangtritis: Pesona Pantai Landai di antara Batu Karang dan Gumuk Pasir Sejarah

SEJARAH nama Parangtritis bisa dibilang cukup menarik. Konon, ada seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit bernama Dipokusumo yang melakukan semedi di kawasan ini. Ketika sedang bersemedi, ia melihat air yang menetes (tumaritis) dari celah-celah batu karang (parang). Kemudian ia memberi nama daerah tersebut Parangtritis yang berarti air yang menetes dari batu.

Pantai Parangtritis diyakini merupakan perwujudan dari kesatuan trimurti yang terdiri dari Gunung Merapi, Keraton Jogja, dan Pantai Parangtritis itu sendiri. Masyarakat setempat meyakini Pantai Parangtritis merupakan bagian dari daerah kekuasaan Ratu Selatan atau yang dikenal dengan nama Nyai Roro Kidul. Menurut mereka, Nyai Roro Kidul menyukai warna hijau, oleh karena itu wisatawan yang berkunjung ke Parangtritis disarankan tidak memakai baju berwarna hijau. Selain sarat dengan kisah misteri Nyai Roro Kidul, Pantai Parangtritis juga dikisahkan sebagai tempat bertemunya Panembahan Senopati dengan Sunan Kalijaga sesaat setelah Panembahan Senopati selesai menjalani pertapaan. Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, Parangtritis juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari Keraton Jogjakarta.

telusuri

Sejarah Singapura, Dari Kampung Nelayan Menjadi Kota Kosmopolitan


BANYAK orang terpesona dengan keindahan Singapura dan kemajuannya. Yang paling mengesankan untuk dicatat adalah bahwa negeri ini dahulu hanya merupakan kampung nelayan sederhana, dihuni oleh para penduduk asli. 

telusuri

Review Buku: Permainan Tradisional Jawa

Judul Buku : Permainan Tradisional Jawa
Penulis   : Sukirman Dharmamulya, dkk.
Penyunting  : Sumintarsih

Ancak-ancak Alis
Si Alis kebo janggitan
Anak-anak kebo dhungkul
Si dhungkul bang-bang teyo
Tiga rendheng
Enceng-enceng gogo beluk
Unine pating cerepluk
Ula sawa ula dumung
Gedhene salumbang bandhung
Sawahira lagi apa?

Atab Lontiok. Rumah Ada Melayu Kampar Riau. foto: Derichard  H. Putra/01
MUNGKIN lirik nyanyian di atas tidak asing lagi bagi kita, apalagi jika permainan tersebut dulunya sering dimainkan untuk mengisi waktu luang. Permainan  yang biasanya dimainkan di ruang terbuka ini, dimulai ketika dua orang anak—yang digelari petani—berdiri berhadap-hadapan. Kemudian, keempat tangan pemain diangkat ke atas dan saling menempel sehingga seolah-olah membentuk sebuah gapura. Kedua anak tersebut kemudian menggerakkan tangannya dan saling bertepuk satu dengan lainnya sambil menyanyikan lirik lagu di atas.

telusuri

Review Artikel: Permainan Tradisional Anak: Perspektif Antropologi Budaya


Judul Artikel: Permainan Tradisional Anak: Perspektif Antropologi Budaya 
Penulis: Heddy Shri Ahimsa-Putra

Masjid Raya Pekanbaru. Bangunan Masjid Raya Pekanbaru
Sebelum di  Pugar. foto:  Derichard H. Putra/01
MENGENANG permainan rakyat yang biasa dimainkan saat masih kecil atau ketika masih di kampung dulu mungkin merupakan kenangan yang mengesankan sekaligus lucu. Walaupun, beberapa permainan yang pernah dimainkan tersebut sudah sangat jarang—kalau tidak mau dikatakan tidak ada—yang bisa ditemukan dan dimainkan oleh anak-anak saat ini. Kemajaun teknologi dan informasi, yang menciptakan mainan-mainan modern—plastik, elektronik, dan games online—telah mengubur masa-masa indah itu. 

Membanjirnya produk-produk ‘asing’ tersebut menyebabkan berbagai macam reaksi dari masyarakat. Menurut Ahimsa-Putra dalam artikel ini, secara umum setidaknya ada tiga reaksi masyarakat dalam memandang dan menilai fenomena permainan anak.

Reaksi yang pertama adalah masyarakat yang menilai positif dengan berbagai macam jenis permainan tersebut. Reaksi ini mucul dari mereka yang beranggapan bahwa berbagai macam jenis permainan baru pada anak-anak memberikan dampak positif terhadap kehidupan anak-anak. Reaksi lainnya adalah masyararakat yang menilai negatif. Walaupun menurut penulis yang betul-betul menilai negatif bisa dikatakan tidak ada dan lebih tepat dikatakan kekhawatiran, reaksi seperti ini lebih disebabkan oleh alasan ekonomis. Reaksi ketiga adalah yang bersifat netral. Pada umumnya masyarakat Indonesia bersifat seperti ini. Reaksi ini disebabkan karena adanya pandangan bahwa pada dasarnya setiap orang sudah mampu menentukan pilihan yang paling baik bagi diri dan keluarganya.

Dalam era globalisasi ini muncul pula pertanyaan, relevankan apabila permainan rakyat digali kembali dalam kaitannya dengan semakin dominannya permainan baru dalam kehidupan anak? Sementara itu parmainan modern yang telah meransek jauh dalam kehidupan bermain anak-anak, selain berakibat menjauhkan anak-anak dari hubungan perkawanan yang personal ke impersonal. Juga menyebabkan menipisnya orientasi wawasan anak komunalistik ke induvidualistik. Sementara itu disadari pula sebagian ilmuan sosial dan humaniora tentang adanya peran yang tidak kecil dari permainan rakyat dihadirkan dan perkenalan kembali lewat penelitian-penilitian, dan kajian-kajian ilmiah.

Berbagai permainan anak sebagai gejala sosial-budaya telah lama menjadi perhatian ilmuwan sosial. Menurut Ahimsa-Putra dalam tulisan ini, dari beberapa literatur asing yang diamati, setidaknya ada empat perpektif yang pernah digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena permainan anak. Keempat perspektif seperti: 1) perspektif fungsional: bermain sebagai “persiapan menjadi orang dewasa”, 2) permainan: bermain (play) sebagai ‘permainan’ (game), 3) psikologi: ‘bermain’ sebagai wujud kecemasan dan kemarahan, dan 4) adaptasi: ‘bermain’ sebagai peningkatan kemampuan beradaptasi.

Perspektif fungsional: Bermain Sebagai “Persiapan Menjadi Orang Dewasa”. Perspekti ini, anak-anak diasumsikan melakukan permainan-permainan yang menyerupai apa yang dilakukan orang dewasa, dengan kata lain bisa disebut dengan “persiapan menjadi orang dewasa”. Pandangan fungsional ini dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, ahli antropologi pelopor teori fungsionalisme. Berbagai permainan anak, misalnya: “pasaran”, ”dokter-dokteran”,”sekolah-sekolah” dan sebagainya, yang biasa disebut “role play” (main peran), merupakan contoh dari permainan anak-anak yang mempunyai fungsi mempersiapkan anak-anak untuk memainkan peran yang sebenarnya ketika mereka dewasa nanti.

Jika dilihat dari sudut pandang ini, kegiatan bermain merupakan kegiatan yang bersifat fungsional untuk proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak. Enkulturasi dimaksudkan sebagai proses penanaman nilai-nilai, atau proses menjadikan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat diterima, dipahami, diyakini kebenarannya dan kemudian dijadikan pembimbing perilaku atau bertindak oleh warga suatu masyarakat, sedang sosialisasi adalah proses mengenalkan dan membiasakan anak pada berbagai induvidu lain, berbagai kedudukan sosial dan peran, berbagai kategori sosial, kelompok dan golongan, serta nilai, norma, dan aturan yang berlaku dalam berinteraksi dengan induvidu dan kelompok tersebut.

Perspektif Permainan: Bermain (play) Sebagai ‘Permainan’ (game). Perspektif ini banyak dipergunakan oleh ahli folkor di akhir abad 19. Hasil yang dicapai lebih banyak bersifat deksripsif, yaitu mengambarkan jenis-jenis permainan yang ada dengan berbagai macam peralatannya, sedang proses-proses sosial dari permainan itu sendiri tidak dimuculkan. Mereka umumnya beranggapan bahwa ‘game’ (permainan) adalah wujud yang paling jelas dari ‘play’. Jadi perhatian para ahli lebih diarahkan pada kegiatan bermain yang terstuktur, seperti yang biasa dilihat dalam ‘permainan’. 

Dari sudut pandang semacam ini para ahli kemudian melakukan berbagai studi perbandingan untuk mengetahui hubungannya dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan di masa lampau. Dengan asumsi-asumsi yang sedikit-banyak etnosentris, atau Eropasentris, para ahli sering kali memandang permainan ini sebagai sisa-sisa dari kegiatan orang dewasa pada masyarakat-masyarakat primitif di masa lampau. 

Perspektif Psikologis: ‘bermain’ Sebagai Wujud Kecemasan dan Kemarahan. Perspektif ini memandang kegiatan bermain anak-anak sebagai fenomena seperti tes proyektif (projective test), yang dapat memperlihatkan kecerdasan-kecerdasan mereka serta sifat-sifat galak mereka yang diduga bersumber pola-pola pengasuh anak dalam suatu kebudayaan. 

Perspektif ini digunakan oleh Robert dan Sutton-Smith (1963). Dua ahli ini mengembangkan hipotesis yang menjelaskan hubungan-hubungan antara jenis permainan, dengan variable pola asuh anak dan variable budaya lainnya. Keterlibatan induvidu dalam permainan ini pada akhirnya akan membuat dia mampu mewujudkan perilaku-perilaku yang mempunyai nilai fungsional dan berguna dalam kebudayaannya (Schwartzman, 1976: 296). Ahli lain yang melakukan penelitian dalam jalur ini adalah R.R Eifermann, yang mencoba mengetahui perbedaan antara sifat-sifat anak di desa dengan anak-anak di kota dengan memperhatikan permainan permainan yang merkea mainkan.

Perspektif Adaptasi: ’Bermain’ Sebagai peningkatan Kemampuan Beradaptasi. Dalam perspektif ini, beranggapan bahwa ‘bermain’ tidak hanya terbatas pada makhluk manusia, tetapi juga berbagai jenis binatang lainnya. Asumsi dibalik pendekatan semacam ini adalah bahwa aktivitas makhluk pada dasarnya mempunyai fungsi tertentu, dan karena salah satu masalah penting yang menyangkut keberlangsungan hidup suatu spesies adalah masalah adaptasi, maka tentunya ‘bermain’ juga mempunyai fungsi dalam kerangka adaptasi makhluk tersebut. Perspektif ini sebenarnya agak dekat dengan prespektif fungsional, akan tetapi berbeda karena dalam prespektif adaptasi ini fungsi bermain tidak hanya bersifat sosial dan cultural, akan tetapi juga ragawi (physical).

Ada dua teori terpenting berkenaan dengan adaptasi makhluk lewat ‘bermain’ ini, yaitu teori ‘arousal’ dan teori ‘educational’. Walaupun tampak saling berlawanan, akan tetapi pada dasarnya kedua teori saling melengkapi. Teori arousal menjelaskan fenomena bermain dalam kerangka jangka pendek, sedangkan teori ‘pendidikan’ (educational) diberikan untuk memberikan pemahaman yang bersifat jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan bahwa setiap organisme pada dasarnya berusaha mempertahankan “an optimal level of arousal”, dan ini berarti bahwa setiap makhluk pada dasarnya selalu menginginkan perubahan-perubahan***

Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra


TULISAN ini merupakan review dari buku Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra karya Heddy Shri Ahimsa-Putra, terbitan KEPEL PRESS, Yogyakarta, Cetakan Pertama tahun 2006.
Tidak banyak buku dipasaran yang bisa kita temui yang secara khusus membahas Strukturalisme Levi-Strauss secara detail dan mendalam, apalagi buku yang disertai dengan contoh-contoh cara analisis ala Levi-Strauss tersebut,   kalaupun ada pada umumnya adalah buku-buku impor yang masih menggunakan bahasa Inggris. Beberapa artikel dan makalah mungkin lumayan banyak kita temui, yang pada umumnya adalah karya Heddy Shri Ahimsa-Putra.
Buku Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra ini bisa dijadikan sebagai rujukan bagi anda yang ingin mendalami Strukturalisme Levi-Strauss khsusus bila ingin melakukan analisis strukturalis terhadap mitos-mitos dan karya sastra yang banyak di jumpai di tanah air.
Buku setebalnya 493 hal + xvi ini, terdiri dari 10 bab yang bisa dibagi dengan 3 kategori besar yaitu (1) Pengantar, memuat sejarah perjalanan hidup Levi-Strauss, (2) Strukturalisme Levi-Strauss, dan (3) Analisis strukturalisme.  Analisis strukturalisme terbagi lagi menjadi 3 kategori yaitu analisis strukturalisme terhadap mitos yang dilakukan oleh Levi-Strauss, analisis strukturalisme terhadap mitos yang dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra, analisis strukturalisme terhadap karya sastra dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra.
Pada bab pertama (pendahuluan), Heddy Shri Ahimsa-Putra (selanjutnya saya sebut penulis) menguraikan riwayat hidup Claude Levi-Strauss secara detail, rinci, dan lengkap. Penulis berusaha mengungkapkan riwayat hidup Claude Levi-Strauss, seorang yang menempuh pendidikan hukum secara formal namun meraih guru besar dalam disiplin ilmu antropologi.
Claude Levi-Strauss adalah seorang berkewargaan negaa Prancis, lahir di Brussles, Belgia pada tanggal 28 November 1905. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sebenarnya minat utama Levi-Strauss semula bukanlah antropologi. Di masa mudanya dia lebih banyak membaca buku hukum dan filsafat, karena pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk fakultas hukum paris dan pada saat yang sama juga belajar filsafat di Universitas Sorbone (hal 8).
Sebuah ekspedisi di pedalaman-pedalaman Amazon yang ia lakukan, juga pengalaman batinnya, lahir sebuah karya semacam laporan perjalanan plus otobiografi yang mengesankan, membutnya ia terkenal di negerinya, Prancis, Tristes Tropique. Buku ini bisa dikatakan semacam ethnographic baptism bagi Levi-Strauss (hal 11). Menurut penulis, dalam buku ini Levi-Strauss bertutur dengan bahasa yang memikat, menyentuh rasa kemanusiaan tentang kisah-kisah tragis suku Indian di belantara Amazon sehingga namanya tidak hanya dikenal di kalangan akademisi tetapi juga khalayak luas masyarakat. Setelah dua kali pencalonan yang gagal yaitu pada tahun 1949 dan 1950, akhirnya Levi-Strauss disetujui diangkat untuk menjadi guru besar antropologi sosial di College de France (hal 16).
Bab kedua, penulis menjelaskan model yang digunakan Levi-Strauss paling banyak adalah model linguistik. Oleh sebab itu pembahasan awal dimulai dengan kajian mengenai bahasa itu sendiri. Meskipun bahasa modelnya bisa berupa homeomorph danparamorph, model dalam strukturalisme adalah paramorph di mana subyek dan sumber model berbeda. “Levi-Strauss memandang fenomena sosial-budaya... sebagai “kalimat” atau “teks” dimana ada suatu kesatuan yang diberi makna oleh seorang pengarang atau pembicara dan diucapkan oleh kata-kata yang membentuk suatu kalimat.
Alasan utama yang mendasari pemikiran tersebut adalah dari dua hukum yaitu arti dari sebuah teks tergantung pada arti dari bagian-bagiannya dan yang terakhir adalah “makna dari setiap bagian atau peristiwa dalam sebuah teks ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat menggantikannya tanpa membuat keseluruhan teks menjadi tidak bermakna atau tidak masuk akal” (h 32).
Menurut penulis, untuk melihat alasan kenapa Levi-Strauss menggunakan model dari bahasa, bisa dilihat dari dua ahli bahasa yang sangat mempengaruhi Levi-Strauss yaitu Ferdinand de Saussure dan Roman Jakobson. Di buku ini penulis menjelaskan secara rinci Saussure dan Jakobson beserta paradigma-paragdima yang dipakai kedua tokoh tersebut.
Menurut Ferdinand de Saussure, setidaknya ada lima butir yang dipakai Ferdinand yang mempengaruhi Levi-Strauss yaitu penanda (Signifier) dan Tinanda (Signified), wadah (Form) dan Isi (Content), bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole), sinkronis (Synchronic) dan diakronis (Diachronic), sintagmatik (Syntagmatic) dan paradigmatic (Associative).

Ringkasan kelima butir-butir tersebut bisa dilihat di sebagai berikut:
Penanda (Signifier) dan Tinanda (Signified). Saussure menyatakan bahwa bagian dasar dari bahasa adalah linguistic sign yang mewujud dalam bentuk kata-kata. “Bagi de Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata dan secara psikologis pikiran kita ... hanyalah suatu massa yang tak terbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan” (halaman 35 paragraf 2). Pandangan ini menimbulkan suatu pertanyaan atas makna dari kata-kata. Saussure mengungkapkan akan adanya signifier dan signified yang melekat pada sebuah kata dan adanya bentuk dan isi dari kata itu sendiri. Saat kita mengucapkan sebuah kata yang terwujud dengan suara, akan timbul konsep atau yang saya sebut pemvisualisasian dalam pikiran kita atas apa yang dikandung dalam kata tersebut. Kata yang berbeda akan menimbulkan suara yang berbeda dengan pemvisualisasian yang berbeda pula. Jelas nampak di sini adanya hubungan antara penanda dan tinanda (yang ditandai). Contoh: pada saat seseorang menyuarakan atau mengucapkan kata televisi maka visualisasi akan kata televisi yang ada dalam pikiran saya adalah bentuk tv itu sendiri yang berupa kotak persegi panjang dengan beberapa tombol dan antena.
Wadah (Form) dan Isi (Content). Suatu kata memiliki wadah yang tetap dengan isi yang bisa berubah-ubah. Isi yang berubah-ubah ini berhubungan dengan kata-kata yang ada pada sebelum dan sesudah kata itu sendiri. Adanya perubahan isi karena kata-kata yang mendahului atau mengikuti kata itu membuat Saussure sampai pada dua pandangan yaitu bahwa “bahasa tidak lain adalah seperangkat perbedaan-perbedaan” (halaman 41 paragraf 3) dan “bahasa juga merupakan istilah-istilah yang saling tergantung (interdependent terms), dimana nilai dari setiap istilah atau kata adalah hasil dari kehadiran, keberadaan, istilah-istilah yang lain sekaligus” (halaman 42 paragraf 2).
Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole). Langue, diutarakan dalam buku ini, adalah aspek sosial dari bahasa sedangkan Paroleadalah “wujud atau aktualisasi dari Langue” (halaman 43 paragraf 3) atau pada halaman berikutnya di ungkapkan bahwa tuturan merupakan sisi empirik, sisi kongkrit dari bahasa sedangkan bahasa sendiri merupakan struktur yang tidak tampak. Karena bahasa mengalami perkembangan atau bersifat diakronis, Saussure membatasi kajian bahasanya pada bahasa yang bersifat sinkronis atau statis.
Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic). Dari uraian di atas jelas bahwa Saussure sadar adanya bahasa yang bersifat sinkronis dan diakronis. Oleh Saussure kemudian bahasa dibedakan menjadi bahasa sebagai sistem, atau yang bersifat sinkronis, dan bahasa yang telah telah mengalami evolusi. Menurut Ahimsa hal ini berhubungan dengan sifat arbitrair dari penanda dan tinanda dimana apabila terjadi perubahan pada bahasa maka akan terjadi pula perubahan pada penanda dan tinanda sehingga tanda “didefinisikan sebagai suatu entitas (entity) yang bersifat relasional atau dalam relasi-relasinya dengan tanda-tanda yang lain” (halaman 47 baris 1-2). Namun apabila kita ingin menentukan elemen-elemen dari bahasa, maka bahasa yang bersifat sinkronis lah yang harus dikaji.
Sintagmatik (Syntagmatic) dan Paradigmatic (Associative). “Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakannya dalam sebuah kalimat” (hal 47). Menurut penulis“Hubungan paradigmatis dari seuah kata adalah hubungan-hubungan esensial yang dimilikinya di luar hubungan sintagmatik” (ha 49) sedangkan pandangan Saussure mengenai hubungan paradigmatis adalah “hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata lain yang dapat menggantikanya dalam suatu kalimat tanpa membuat kalimat tersebut secara sintagmatis tidak dapat diterima atau tidak bermakna” (hal) dan pandangan yang terakhir ini lah yang menjadi landasan konsep relasi paradigmatis dalam strukturalisme.
Penulis juga menjelaskan pandangan ahli fonologi yang mempengaruhi Levi-Strauss yaitu Nikolai Troubetzkoy yang beranggapan“fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa dan bukan ide yang diambil dari pengetahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti” (hal 58). Nikolai juga memandang perlunya distinctive feature. Analisis struktural Nikolai mengutamakan perlunya 4 hal yang harus diperhatikan yaitu beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar, memperhatikan relasi-relasi antarisitilah atau antarfonem sebagai dasar analisis, memperlihatkan sistem-sitem fonemis dan menampilkan struktur dari sistem tersebut, harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan  yang mereka teliti. (hal 59)
Ada empat asumsi-asumi dasar Strukturalisme Levi-Strauss, keempat hal terebut adalah: (1) Segala aktivitas sosial dan hasilnya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, (2) “Dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang “normal”, yaitu kemampuan structuring untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapi” (ha 67). “Struktur yang ada pada sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah kostum, sebuah rituil, tatacara memasak dan sebagainya merupakan struktur-struktur permukaan” (hal 67), (4) “Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut”, dan (5) “Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition)” (hal 69)
Bab ketiga, penulis menyajikan pemahaman Levi-Strauss terhadap mitos, Mitos dalam konteks strukturalisme Levi-Strauss tidak lain adalah dongeng. Pengertian mitos dalam strukturalime levistrauss berbeda dengan pengertian mitos yang biasa digunakan dalam kajian mitologi. Dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsure-unsur khayalan tesebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dongeng inilah khyalan manusia memperoleh kebebasan mutlak, karena disitu tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan dongeng apa saja (hal 77).
Levi-Strauss beranggapan bahwa para ahli antropologi sebaiknya mengarahkan perhatian merka pada mekanisme bekerjanyahuman mind atau nalar manusia dan mencoba memahami strukturnya (hal 75) dan masyarakat sederhana diusulkan untuk dikaji karena proses-proses pemikiran mereka masih sederhana atau kalau yang saya pahami masih natural sebagaimana adanya tidak seperti masyarakat Eropa yang menurut Levi-Strauss telah banyak dipengaruhi oleh kondisi yang tidak natural. Mitos atau dongeng menurut Ahimsa diketengahkan karena merupakan perwujudan dari pemikiran-pemikiran masyarakat sederhana tersebut dimana hal-hal yang tidak masuk akal ditemukan. Kemiripan dongeng satu dengan yang lain, walaupun dongeng-dongeng tersebut berasal dari daerah yang berbeda-beda, dipandang bukanlah suatu kebetulan oleh Levi-Strauss. Kemiripan ini menjadi landasan Levi-Strauss untuk mengkaji nalar manusia. Alasan lain dikajinya mitos adalah persamaanya dengan bahasa dimana mitos dan bahasa kedua-duanya dalah media komunikasi untuk menyampaikan pesan dan juga adanya aspek langue dan parole dalam mitos yang ditunjukkan dengan beradanya mitos dalam reversible dan non-reversible time. Diajukan juga suatu pandangan bahwa karena makna dalam bahasa terletak pada kombinasi fonem-fonem maka mitos juga perlu dikaji dengan melihat “kombinasi dari berbagai tokoh dan perbuatan mereka serta posisi mereka masing-masing dalam kombinasi tersebut” (hal 84).
Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya asumsi-asumsi dasar pengkajian mitos yaitu Mitos terbentuk dari constituent units, Walaupun unit-unit dalam mitos ini sama seperti unit-unit bahasa, mereka juga berbeda satu dengan yang lain yang kemudian disebut sebagai gross constituent units atau mythemes, dan Mitos diperlakukan sebagai simbol dan tanda sekaligus.
Levi-Strauss juga beranggapan bahwa mitos juga sama dengan musik, keduanya perlu perhatian dari struktur-struktur mental yang ada pada manusia, memerlukan dimensi waktu untuk mewujud dan keduanya melebihi bahasa lisan karena maknanya tidak dapat dipahami seperti kita memahami bahasa lisan atau kata demi kata.

Analisis Struktural Mitos
Levi-Strauss bukanlaah orang pertama yang menganalisa mitos secara struktural. Beberapa ilmuwa pendahulunya telah merintis jalan tersebut sebelumnya. Namun menurut levi-Strauss hanya ada tiga orang yang dianggapnya sebagai tokoh strukturalisme tulen di perancis, yakni Benveniste, Dumezil dan dirinya sendiri. Pengunaan analisis strukturalnya terhadap fenomena kekerabatan dan perkawinan , mitos, totemisme, dan topeng merupakan bukti yang sulit di bantah bahwa levi-Strauss adalah tokoh yang paling maju, paling konsisten, serta paling yakin dengan paradigm strukturalnya (hal 99).
Mitos dalam perspektif ini, menurut penulis merupakan sebuah penyampaian pesan dari masa lalu ke masa kini, namun untuk mengungkap pesan “terselubung” tersebut diperlukan sebuah perspektif untuk menguaknya. Penulis mencoba menjelaskan landasan pemikiran untuk analisa mitos yaitu (1) mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, (2) hanya ciri-ciri tertentu mitos yang dapat disamakan dengan ciri-ciri bahasa, dan (3) ciri-ciri mitos lebih kompleks dan rumit daripada bahasa.
 Sedangkan untuk prosedur analisa, mencari dan menyusun miteme bisa dilakukan seperti berikut (1) Mencari miteme. Miteme adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat oppositional, relatif dan negatif(halaman 94). Miteme juga merupakan segmen atau peristiwa. (2) Menyusun miteme. Bundles of relations perlu ditemukan dan dianalisis dalam tahap ini yang kemudian disusun secara paradigmatis dan sintagmatis.
Pada bab-bab selanjutnya, ditampilkan analisis struktural terhadap mitos dan karya sastra, di bawah ini saya tampilkan ringkasan dari analisis tersebut.

Dongeng Bajo
Orang bajo hidup tersebar dan mengembara di lautan luas tidak hanya di kawasan Indonesia, tetapi juga di perairan asia tenggara. Ada yang berpendapat orang bajo berasal dari Malaysia, ada juga yang berpendapat orang bajo berasal dari daerah wajo, di Sulawesi selatan. Orang bajo banyak meleatkan harinya di lautan dengan hidup dalam kelompok-kelompo kecil, menggunakan perahu untuk berpindah-pindah adari satu pantai ke pantai lainya di kepulauan nusantara.
Menganalisa dongeng bajo secara structural cukup berbeda dengan cara anlisa levi strauss menganalisa kisah Oedipus maupun kisah yunani lainya. Yang tidak membagi dongeng-dongeng ke dalam beberapa episode. Dalam kisah bajo dongeng dibagi ke dalam beberapa episode dengan terlebih dahulu  membaca keseluruhan cerita agar mendapatkan kesan pengetahuan cerita tersebut. Setelah itu membaginya dalam beberapa episode.
Setiap episode ini umumnya berisi tentang deskripsi tindakan  atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, sebagaimana yang dikatakan oleh Levi-Strauss tindakan atau peristiwa ini–yang merupakan miteme-hanya dapat ditemukan pada tingkat kalimat.

Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi
Metode yang digunakan dalam menganalisa ketiga novel di atas adalah analisa Levi Strauss sebagaimana yang didapatkan pada mitos-mitos Indian dari Amerika. Namun tetap ada perbedaan mengingat objek analisanya juga berbeda. Dan berbeda pula dengan metode yang digunakan pada Dongeng Bajo. Pada bab ini menggabungkan analisis Struktural Levi-Strauss dengan pendekatan hermeneutika. Maka persepektif yang digunakan oleh penulis buku adalah Sturuktural-Hermeneutik Struktural-Hermeneutik selain mengungkapan struktur di balik yang tampak, mencoba memberikan tafsir lebih lanjut atas struktur tersebut serta hubunganya dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Beberpa hal yang dapat dicatat dari hasil analisis, pertama bahwa karya-karya sastra umar kayam yang diulas memiliki benang ceriteme yang terjalin satu sama lain sedemikian rupa sehingga karya-karya tersebut tampak sebagai sejumlah variasi yang bergerak di sekitar sebuah tema. Kedua, dalam beberapa karya umar kayam tersebut tersembunyi struktur-struktur tertentu yang sedikit banyak menjelaskan mengapa beberapa tokoh-tokoh tersebut jatuh ke lunbang-lubang nasib mereka. Struktur-struktur tersebut adalah struktur sejarah kehidupan dan struktur segitiga tegak dari tokoh-tokoh tersebut. Ketiga, kebebasan pengarang yang biasa dianggap sebagai sebuah kenyataan yang tak terbantah, ternyata tidak selamanya benar. Keempat, nilai jawa sak madya, tokoh mitis semar, sosok nyata umar kayam dan tokoh etnografis tun, bawuk dan hari dapat ditafsirkan sebagai perwujudan prinsip nalar jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan menyatukan elemen-elemen berlawanan, pada tataran nilai, mitos, individu dan hasil karya individu.

Priyayi Dalam Parapriyayi
Dongeng para priyai merupakan kelanjutan dari upaya umar kayam untuk menjelaskan peristiwa yang dahsyat di Indonesia, yaitu G-30 S/PKI, yang telah memakan banyak jiwa. Sementara itu posisinya  sebagai penulis juga tidak berubah, dia masih menjadi aktor yang terlibat yang membuat tafsir  atas segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya.
Dalam konteks analisis ini dapat dikatakan bahwa realitas sosial budaya, karya sastra dan pemikiran Umar Kayam adalah system-sistem kode yang menjadi sarana sang sturktur untuk mengejawantahan dirinya.

Mitos Dan Sinkretisasi Islam Di Jawa
Islam di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri. Dengan berbagai ritus pola keberagaman yang cukup berbeda. Hal ini disebabkan akan beragamnya suku budaya di tanah air. Relasi antar sturuktur di dalamnya membentuk sebuah harmoni tersendiri.termasuk di dalamnya proses sinkretisasi.
Sinkretisasi oleh sebagian antropologi dianggap sebagai salah satu dari akultrasi, yakni, (1) penerimaan, (2)penyesuaian, (3) reaksi. Sinkretisasi adalah penyesuaian atau adaptasi yang dartkan sebagai sebuah proses menggabungkan, mengkombinasikan, unsur-,unsur asli dengan unsure-unsur asing ini munculah kemudian sebuah pola budaya baaru yang dikatakan sinkretis (Ahimsa 2009:338).
Mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat jawa sebagaimana yang tercantum antara lain babad tanah jawi, di dalamnya terdapat struktur berpikir orang jawa.
Struktur pemikiran ini mencerminkan upaya kognitif orang jawa untuk menselaraskan dan menggabungkan berbagai elemen budaya pra-islam, budaya jawa dengan elemen budaya islam dlam suatu kerangka simbolis yang dapat mereka gunakan untuk menafsirkan, memahami dan emanfaatkan  berbagai prinsip ajaran, prilaku dan lingkungan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.beberapa relasi yang dihasilkan orang jawa yang diwujudkan menjadi; (1) relasi genealogis, (2) relasi analogis, (3) relasi historis, (4) relasi profesis, (5) relasi kooperatif.
Islam mempunyai peranan penting dalam kebudayaan jawa, begitupun jawa dalam ranah pola keberagaman islam. Sehingga kelak akan menjadi prototype apa yang dinamakan islam rahmatan lil “alamin.

Sawerigading, Dwi Sri, Larangan Incest dan Kekuasaan
Sawerigading adalah mitos dari kalangan orang bugis makasar, dan mitos Dewi Sri berasala dari kalangan orang jawa. Kedua mitos ini sangat popular di antara pendukungnya. Ini terlihat antara lain dengan banyaknya versi sawerigading di masyarakat bugis dan dewi sri di masyarakat jawa. Ada beberapa alasan mengapa menganalisanya dengan analisa structural Levi-Strauss.
Pertama, bahwa paradigm ini sangat membantu peneliti memahami mitos dalam konteks budayayang lebih luas, dan akhirnya pemahaman atas budaya dan masyarakat pemilik mitos itu sendiri. Kedua, adanya konsep mytheme (miteme) yang mengacu unit-unit dalam sebuah mitos yang menunjukan relasi tertentu antara tokoh di situ (Levi-Strauss). Ketiga, adalah perhatian strauss pada fenomena pernikahan antar kelompok, pertukaran sosial, dan relasi-relasi kekerabatan, serta strategi analisis sosial ini dengan relasi-relasi lain dalam mitos
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari analisa structural dan studi perbandingan mitos sawerigading dan dewi sri antara lain:
Pertama, atas dasar persamaanya mitos Sawerigading dan Dewi Sri dapat dikatakan sebagai mitos-mitos tentang larangan incest. Kedua, pada mitos Sawerigading kategori sosial individu  yang dijadikan contoh kekerabatan adalah sepupu dengan memperhatikan status dan lapisan sosial. Sedangkan dalam Dewi Sri kategori sosial individu yang disarankan untuk tidak diambil jodoh adalah raksasa atau bukan kerabat atau orang yang berbeda latarbelakang sosial dan budaya, yang kurang baik watak dan prilakunya.ketiga,mitos sawerigading dapat dikatakan sebagai slah satu unsure budaya yang menguatkan dan melegitimasi pernikahan ktertentu. Demikian pula yang terjadi pada mitos dewi sri. Keempat jodoh yang ideal dalam kedua mitos itu terkait dengan konsepsi masyarakat tentang kekuasaan. Kelima, mitos Sawerigading merupakan mitos politik, demikian juga pada mitos Dewi Sri.
Pada bab penutup, penulis jelas-jelas menegaskan bahwa analisa Struktural Levi-Strauss dapat memahami gejala-gejala sosial-budaya yang berkembang di masyarakat. Ada beberapa hal penting yang harus diingat tentang paradigama ini yaitu: (1) Levi-Strauss menggunakan paradigma strukturalnya tidak hanya untuk menganalisa mitos, tetapi juga menganalisa gejala sosial-budaya lainya, dan (2) Paradigma Struktural Levi-Strauss bukanlah segala-galanya. Selain itu,  Strukturalisme Levis-Staruss juga berupaya menjelaskan perubahan-perubahan dalam arti perbedaan-perbedaan antar kebudayaan, tetapi dengan menggunakan asumsi yang berlainan dengan sejarah yaitu diskontinuitas antar kebudayaan dan fenomena kebudayaan.
Kelebihan utama buku ini bisa dilihat dari cara penulisan yang sangat detail dan rinci, sehingga sangat memudahkan pembaca untuk memahami dan mencoba untuk melakukan analisis Strukturalisme, pertama penulis menceritakan sejarah hidup Levi-Strauss, paradigmaStruktural Levi-Strauss, analisis mitos yang dilakukan Levi-Strauss, lalu kemudian penulis melakukan analisis berdasarkan dari apa yang pernah dilakukan Levi-Strauss, walaupun ada beberapa perubahan. Hal ini tentu sangat membantu pembaca dalam memahami dan mendalami buku ini. Selain itu, penjelasan stukturalisme Levi-Strauss sangat komprehensip dan mendetail disertai contoh-contoh analisa dari mitos di Indonesia. Kekurangan buku ini, jujur saya belum bisa mengkritisinya. Saya belum terlalu memahami paradigma ini***

Bomo Dulu, Dokter Kemudian

Catatan dari Ekspedisi Kebudayaan Sungai Siak

MATAHARI baru saja terbenam, lampu pijar 15 watt dari genset desa terang temaram menerangi ruangan 5 x 6 meter persegi. Di salah satu sudut ruangan, berdekatan dengan pintu tengah menuju ruang tamu, tampak 4 batang lilin berjejer yang terbuat dari lilin sarang lebah yang didirikan di atas wadah yang berisi air kembang. Di tengah ruangan, satu setengah meter dari ramuan-ramuan tadi, tergeletak kursi siap pakai yang dibuat dari batang pisang yang dihiasai daun kelapa muda membentuk janur-janur yang berukir bunga dan rumpun-rumpun bambu. Beberapa pihak keluarga masih sibuk menata beberapa perlengkapan yang telah dipersiapkan dari subuh tadi.
Beberapa tamu, dan juga 4 orang  tim ekspedisi duduk berjejer di dinding ruang keluarga sambil mempersiapakan peralatan rekam masing-masing. Suasana begitu senyap, hening dan yang ada hanya bau kemenyan menyengat hidung membuat bulu tengkuk berdiri. Tak berapa lama kemudian, seseorang yang ditunggu-tunggupun datang, ia memakai sarung, baju kemeja kotak-kotak dan peci putih menutupi kepala.
“Ini Bomo, beliau baru saja mengambil wudhu dan shalat, beliau nanti yang akan melakukan pengobatan ini” jelas Pak Surya pemilik rumah kepada penulis. Sang Bomo yang belakangan kami ketahui bernama Ernalis atau lebih dikenal panggilan Pak Can merupakan warga asli kampung, yang namanya sudah dikenal hingga ke tetangga sebelah.
Pengabotan yang dimaksud Pak Surya adalah pengobatan Gengulang Puteh serba tujuh daun, bunga dan hiasan. Pengobatan ini merupakan langkah kedua setelah pengobatan Ayie Sibuyung yang berfungsi melihat sakit si pasien. Jika seandainya pada Gengulang Puteh si sakit tidak juga sembuh maka dilakukan proses selanjutnya yaitu Gengulang Kuning Muda serba lima yang memiliki lima daun, bunga, dan hiasan. Jika tidak juga sembuh maka dilakukan Gengulang Kuning Tua serba tiga yang memiliki tiga daun, bunga dan hiasan. Dan yang terakhir Gengulang Puteh Buyung Tunggal. Jika tidak juga sembuh, maka si Bomo tidak mampu lagi melakukan pengobatan.
Pengobatan Gengulang hampir sama dengan babalian atau pengobatan tradisional lainnya di Riau seperti Buwuang Kuayang, Turun Jin, dan lain-lain.
 “Masyarakat  sini sudah menjadi tradisi kalau sakit harus berobat ke Bomo dulu sebelum ke dokter,” tutur Pak Ernalis atau lebih dikenal di dengan panggilan Pak Can, Bomo yang juga sekaligus tokoh masyarakat Muara Bungkal ini tidak hanya “spesialis” dalam mengobati yang sakit, tapi juga sebagai Bomo dalam prosesi nikah kawin.
“Jam terbang” Pak Can juga terbilang cukup tinggi, ia tidak hanya mengobati atau Bomo dalam prosesi nikah kawin di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung tetangga yang berdekatan dengan Muara Bungkal.
“Jika mau melihat nikah kawin, datanglah nanti ke Kampung Lubuk Jering, nanti saya juga di sana”, tawar Pak Can kepada tim ekspedisi.
Ritual Gengulang yang disaksikan tim ekspedisi merupakan suatu kebetulan, Ketika tim ekspedisi singah di Kampung Muara Bungkal, salah seorang warga ada yang sakit dan akan dilakukan pengobatan Gengulang. Setelah minta izin ke tuan rumah dan sang Bomo, kamipun diberi kesempatan melihat ritual pengobatan tersebut.
Prosesi pengobatan di mulai dari pukul 20.00 Wib, diawali dari Sang Bomo memantrai 4 air kembang yang berisi 7 macam bunga, 7 macam bedak, dan 7 macam kembang (bertih), dan peralatan lainnya sepereti mayang, lilin yang dibuat dari lilin lebah, daun kelapa muda, dan sebuah kursi yang dibuat dari batang pisang dihiasi dengan berbagai bentuk daun kelapa muda. Semua peralatan tersebut telah disediakan oleh tuan rumah atau keluarga si sakit.
Setelah hampir satu jam, si pasien di panggil dan dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Sang Bomo lalu memantrai dan menyebarkan bunga, daun, dan kembang sambil mengelili pasien berualng-ulang sebanyak 21 kali yang dibagi menjadi 3 bagian. Setiap bagian sang Bomo menggunakan peralatan yang berbeda. Bagian pertama menggukan mayang, bagian kedua semacam cambuk yang terbuat dari daun kelapa muda, dan bagian ketiga semacam rumpun bunga yang juga terbuat dari daun kelapa muda. Dibagian akhir dari prosesi pengobatan, si pasien dimandikan dengan air kembang*** [Derichard H. Putra]

Dipublikasikan di www.kompasiana.com, 12 Juni 2011
http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/12/bomo-dulu-dokter-kemudian/ 

Pacu Jalur: Sebuah interpretasi

Pacu Jalur Telukkuantan-Riau.
PACU JALUR adalah sejenis lomba perahu dayung tradisional berukuran panjang 25-40 meter. Jalur terbuat dari pokok kayu besar utuh dari jenis kayu tertentu tanpa boleh dipotong, disatukan atau disambung dengan pokok kayu lain.

Awalnya jalur adalah sebagai sarana transportasi mengangkut hasil panen, namun kemudian berkembang sebagai acara hiburan yang di selenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Ketika Belanda masuk ke Rantau Kuantan pada 1905, Pacu Jalur dilaksanakan untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda Welhelmina setiap tanggal 31 Agustus. Saat ini pacu jalur digunakan untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.

telusuri

Calempong yang Tak Lagi Bertingkah

SAYUP-sayup, suara itu seperti hari langsung dalam pesta nikah kawin. Hanya dalam beberapa menit saja, beberapa penduduk kampung berdatangan mendekat, mereka membentuk sebuah lingkuran, mengelilingi seseorang yang lagi bersemangat sedang memainkan beberapa alat-alat musik tradisonal. Beberapa tim ekspedisi terlihat sibuk dengan peralatan masing-masing, tidak menginginkan moment yang berharga itu hilang begitu saja.
“Anak-anak sini sudah tidak mau lagi berlajar calempong, mereka lebih tertarik belajar kibord (keyboard-pen), padahal alat-alat ini tergelatak begitu saja di rumah. Jika mau sayapun siap mengajari mereka”.
Lelaki tua yang memainkan musik tradisonal tadi memandang kami dengan tatapan kosong, tangan lihainya yang dari tadi selalu bergerak lincah tampak diam sejenak. Suasasana senyap seketika. Angota tim ekspedisipun saling berpandangan, beberapa penduduk juga menatap lelaki bersahaja itu. Seperti kami, mungkin mereka juga berharap apa lagi yang akan dilakukan Sang Pemain musik itu.
“Saya takut, suatu hari nanti calempong tidak dikenal lagi oleh anak-anak kami, saya sudah tua, siapa lagi pengganti saya”.
Kekuatiran kakek yang memiliki banyak cucu ini bukanya tanpa alasan. Sejak musik modern  ‘merajai’ kampung mereka, calompong yang sudah ratusan tahun keberadaanya di kampung mereka dalam waktu yang tidak berapa lama lagi tentu akan hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi yang bisa memainkanya.
Pak Tanaka, 60 tahun, adalah satu-satunya penduduk di Kampung Bakuang Bagondang yang sampai hari ini masih memainkan peralatan musik calempong. Kami bertemu dengannya seusai ia membersihkan surau di depan rumahnya, saat kami baru saja mendarat di tepian mandi miliknya. Setelah mengucapkan salam dan mejelaskan maksud kedatangan kami, Pak Tanaka dengan bersemangat bercerita tentang kampung dan alat-alat musik miliknya.
“Bapak jemput dulu ya, nanti bisa di foto?”, ujarnya ramah.
Setelah dikeluarkan, Pak Tanaka pun tanpa canggung memainkan peralatan musik itu, beberapa penduduk kampung yang mendengar langsung mendekat, tim ekspedi juga terkesima dengn musik yang dimainkannya.
“Calempong ini memiliki 6 anak, 5 buah di antaranya disebut anak calompong, dan yang ini disebut calempong tingkah, sebetulnya calempong sendiri ada 4 jenis”, tuturnya sambil memegang calempong tersebut dan melihatkannya kepada penulis.
Lebih lanjut, imam surau di Bakuang Bagondang ini bercerita, ia belajar memainkan calempong dari ayahnya yang juga pemain calempong. Sang Ayah juga belajar dari ayahnya atau kakek Pak Tanaka. Keahlian memainkan calompong menjadi budaya yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.
“Tapi sayang, anak saya tidak lagi mau belajar (calempong-pen)”, ujarnya sedih.
Dulu, ketika penduduk belum mengenal keyboard. Mereka selalu diundang dalam acara-acara nikah kawin, sunat rasul, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang ada di kampung mereka. Aktivitas Pak Tanaka bersama teman-temannya sehari-hari tidak lepas dari peralatan musik tradisional itu. Mereka tidak hanya diundang oleh masyarakat di kampungnya tetapi juga di kampung-kampung tetangga yang tidak jauh dari kampung mereka.
“Kalau memainkan calempong, juga harus dimainkan gendang dan gong, dulu pemainnya adalah teman-teman yang sebaya dengan Bapak, tapi sekarang mereka sudah tidak lagi”, kenang Pak Tanaka.
Kampung Bakung Bagondang terletak di posisi Lintang Utara 00053.159’ dan Lintang Selatan E 101036.188’ Desa Sei Mandau Kec. Sei Mandau Kabupaten Siak Sri Indrapura. Sama seperti Kampung Bakuang Bagondang yang terdapat di aliran Sungai Tapung Kanan, asal mula nama kampung ini juga berasal dari 3 pohong bakung yang berderet di pinggiran Sungai Mandau yang selalu berbunyi seperti bagondang (bergendang-pen) ketika menjelang magrib tiba. Lama-kelamaan penduduk menyebut tempat tersebut dengan Bakuang Bagondang.
Pak Tanaka melepas kepergian kami dari ‘dermaga kecil’ miliknya, perjalanan menyusuri Sungai Mandau kembali dilanjutkan, ia masih melambaikan tangan sebelum akhirnya hilang dibelokan sungai. Saya masih ingat lirih Pak Tanaka ketika ditanyakan pekerjaannya.
“Seperti biasa, selepas membersihkan surau, Bapak  ke kebun karet, tidak lagi bermain calempong, sebab tidak ada  lagi yang mau mendengar tingkahnya”.*** [Derichard H. Putra, Juni 2010]

Dunia Maya, Sebuah Catatan

“Cobalah berkunjung kenegeriku…
Kau akan menemukan dua cinta
dua dunia
dua perbedaan
’Surga dan Neraka’.
Mereka, hanya dipisahkan olehku..satu klik saja”

by sobatmu... mouse

SEGERA kuberseluncur di negeri sobatku itu, menelusuri lorong-lorong gelapnya (seperti menatap masa depan yang kelam), trotoar-trotoar dingin dan licin, jalan-jelan setapak yang gelap, dan... tidak berapa lama, di ujung jalan dipertigaan kumuh, mataku menatap susuatu, membuatku tertegun sejenak, dadaku berdetak kencang, darahku berdesir.
Kuturutkan keingintahuan hatiku. Berhentik sejenak--sambil celingak celinguk--malam belum telalu larut, kendaraan bersiliweren bergerak entah kemana, lampu-lampu klasik kota bertebaran seperti kunang-kunang raksasa tidak berkepak. Kunang-kunang? Ya kunang-kunang dengan rona cahayanya. Kupu-kupu? Kupu-kupu juga ada, hinggap dietalase-etalese warna warni dan semerbak. Mungkin di saat yang sama, kumbang, ulat, ular, buaya dan segala macamnya lainnya dari jenis dan entah spesies apa, juga pasti ada nun jauh di sana, yang tidak bisa kulihat, menikmati juga, seperti diriku halnya.
Kuputuskan untuk berjalan lebih jauh, tanpa beramah tama, basa basi atau pun mengucapkan salam. Dan… ah, rumah-rumah di negeri sobatku itu... sesuatu menakjubkan terlihat dengan nyata. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, apalagi pernah dikunjungi oleh orang sepertiku (ya orang sepertiku).
Di salah satu rumah, dihalamannya tumbuh sebatang mangga rimbun—kupastikan tidak ada ulat-ulat bulu di dahannya—sebelum akhirnya kuputuskan untuk mampir dan berkunjung.
Saat memasuki ruangan tamu, di salah satu sudutnya, berjejer di etalase menawarkan banyak pilihan yang berbeda—terpajang ramuan dengan daya tarik sangat memikat, gudang video bokep, kumpulan 3gp indonesia, gudang video bokep, koleksi video bokep lokal Indonesia, video bokep abg, video bokep pelajar SMP, video bokep pelajar SMA, koleksi video porno, kumpulan cerita dewasa sek, ayam kampus, mahasiswi bispak indonesia, cewek bandung, cewek bali hot, kumpulan foto spg seksi, model bugil, link download at www.indo***.us.
Dadaku kian berdetak kencang, tidak sanggup rasanya untuk bertamu di rumah ini lebih lama, penasaran kuredam dengan kegugupan.
Kucoba mengetuk rumah disebelahnya, arsitekturnya hampir mirip dengan rumah yang barusan kukunjungi, hanya design halaman dan penataan bunga-bunga di taman yang berbeda. Seperti kata sobatku, hanya butuh satu klik untuk mengetuk pintu di rumah-rumah  di negeriku, aku langsung masuk ke dalam, tidak seperti tadi yang hanya kulihat etasenya saja.
Sesuatu yang menakjubkan membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Kutata nafasku, sebelum melangkah lebih jauh.
Di dalam rumah, di salah satu ruangan yang dihiasai keramik-keramik impor, pajangannya membuat aku tersenyum kecut, maria miyabi ozawa, kazumi, devon, ayumi, elisha cuthbert, kayden cross, cristal matthews, ashlynn brooke, jenna jameson, tera patrick, briana banks, aria giovanni, tawnee stone, rin sakuragi, erika sato, akane sakura, reina matsushima, ryoko mitake, takako kitahara, rie fukaumi, miyuki kamiya, ran azakawa, nana, shiori yokoi, sora aoi, natsuki kumada, mihiro taniguchi, reon cadena, hime kamiya, saki seto, haruna yabuki, sara tsukigami, aku tidak lagi melirik yang lainnya, terlalu banyak, terlalu tegang.
Aku coba kembali keruang tamu rumah ini, tidak jauh berbeda dengan ruangan tadi, hanya tawarannya saja yang berbeda, artis porno jepang terpopuler, artis porno china terpopuler, artis porno hongkong terpopuler, artis porno taiwán terpopuler, artis porno korea terpopuler, artis porno thailand terpopuler, artis porno barat, kumpulan bokep barat, kompilasi bekop jepang, kompilasi bokep china, film semi barat, film semi jepang, film semi thailand, film semi china, special bonus film semi indonesia, dst.. dst...
Ada niat untuk sekedar menikmati segelas kopi di dalam rumah. Namun niat itu cepat-cepat kuurungkan.
Aku melangkah keluar rumah, lampu-lampu klasik kotaku terang benderang warna warni, semerbak membuat hatiku kian berbunga-bunga. Lalu lalang kendraan sudah mulai berkurang.
Saat hendak mengetuk di salah rumah yang tidak jauh dari rumah yang sebelumnya aku kunjungi, pikiranku berubah. Di sebrang jalan, di balik terang benderang lampu jalan itu, sebuah rumah terlihat begitu megah dan cantik, berlantai dua, dan ada air menyembur (biasanya disebut air mancur) di halamannya.
Aku langsung menuju ke sana, tanpa babibu, langsung menyosor ke dalam, dan pemandangan seperti tadi terlihat lagi di sini, sedikti berbeda, tetapi tetap sama.
Di dalam rumah, asesoris-asesorisnya menyambutku ramah, video porno sma***, pelajar sma kal***, bokep pelajar sal***, bokep sma gadis sma hot telanjang, ngecrot dengan pembantu, intip kepala sekolah lagi ngen*** guru, skandal kepala sekolah, skandal menteri malaysia, skandal artis, dst.
Aku coba untuk melangkah ke lantai dua, di dalamnya juga kutemukan hal yang juga hampir sama tusuk jelangkung, mati suri, jelangkung, kuntilanak, si manis jembatan ancol,  rumah dara, pengabdi setan, terowongan rumah sakit, dikejar setan jeritan kuntilana hantu binal jembatan semanggi, suster keramas toilet 105 diperkosa setan) jejak darah, pemburu hantu the movie rumah dara hantu puncak datang bulan, jinx, te[rekam].
Dan di bawah pajangan itu, tertulis simbol-simbol yang sama sekali tidak aku kenal (juga untuk apa mengenalnya), aurellie moeremans, ferdy, ray sahetaphy, yurike prastika, him damsyik, hengky solaiman, tatang gepeng, fairly, adam jackson, olga lydia, julia perez, monique henry, andi soraya, trio macan, tesa mariska, ferly putra, rizky mocil, andreano phillips shareefa danish, imelda therinne, arifin putra, ruli lubis, julie estelle, ario bayu, sigi wimala, daniel mananta, poppy bunga, farah hatim, putri arifanti, jenny cortez, tenno ali, reza fahlevi, randy tanaya, kh. syarif rahmat sq, ust. lukman har, ust. hariry mak, ust. shomad ms, ust. sholeh patie, mentari, thalita latief, dimas aditya, robby tumewu, ayu diana, nabilla, chyntiara alona, teguh julianto, winda amanta(h), mastur, anggun, naya, elfrida manik, daffy, coralie gerald, ricky harun, aming, indra birowo, suti karno, lionil tikoalu, rizki putra,  rin sakuragi, herfiza novianti, rizky mocil, zidni adam, shinta bachir,  five v, okie agustina, cynthiara alona, idea pasha, wicky husein, joanna alexandria, julia perez, cathrine wilson, garneta haruni, zaki zimah, andrew ralphroxburgh, furry citra, nadya vella, frans nicholas, dida airlangga, ruly rizal, winda amanta, djenar maesa ayu, rifky balweel, sarah shafitri, kaditha ayu, ray sahetapy, henidar amroe,
            Aku coba untuk berpaling sejenak, menghirup sedikit udara di dadaku yang sesak... namun di ujung saja, aku masih melihat sesuatu yang luar biasa, obat kuat viagra, levitra, cialis, nangen, africa black ant, procomil spray, penis mutiara electric, v*gina goyang suara, vacum pembesar pe*is, kondom silicon.
            Aku lalu ambruk... gelap, terlalu sulit untuk dimengerti. (bersambung...)*** [Derichard H. Putra]

Back to Top