2011

Workshop Digitalisasi Naskah & Pengembangan Portal Naskah Nusantara

      BEBERAPA tahun terakhir, Puslitbang Lektur Keagamaan telah meneliti naskah tertulis (manuscripts) keagamaan nusantara. Puluhan ribu naskah dalam berbagai bahasa (Melayu, Arab, Jawa, Sunda, Sasak, Bali Wolio, dan lainnya) berhasil dilacak, baik yang tersimpan di dalam maupun luar negeri. Isi naskah pun bukan hanya tentang kesusastraan, tetapi berkaitan dengan berbagai bidang ilmu seperti agama, sejarah, hukum, adat-istiadat, obat-obatan, teknologi, dan sebagainya. Naskah yang umumnya ditulis sekitar abad ke-18 hingga ke-20 ini, kondisinya masih “terserak” di sejumlah perpustakaan, museum, dan koleksi pribadi masyarakat. Selain itu, kebanyakan naskah sudah rentan dan rusak termakan usia. Kandungan isi naskah yang tidak ternilai harganya itu bisa saja hilang ditelan zaman
Atas dasar itu, Puslitbang Lektur Keagamaan memandang bahwa pemeliharaan (preservation) terhadap naskan harus menjadi program prioritas. Pilihan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah pemanfaatan teknologi digital, baik berbentuk kamera maupun scanner. Digitalisasi mampu membuat salinan atau cadangan naskah dari aslinya yang sudah tidak dapat digunakan lagi.
Dalam kenyataannya, lembaga ini belum banyak tersedia SDM yang profesional dan terampil dalam melakukan digitalisasi naskah, sekaligus mengelolanya dalam sebuah portal naskah nusantara. Padahal, jika portal naskah itu terwujud, banyak pihak yang dapat memanfaatkannya untuk berbagai penelitian atau kajian-kajian keagamaan.
Melalui kerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang didukung oleh pengurusnya dari Cabang Solo serta Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Negeri Solo, Puslitbang Lektur Keagamaan berinisiatif menyelenggarakan Workshop Peningkatan SDM Pengelola Khazanah Keagamaan (Pelatihan Digitalisasi Naskah dan Pengembangan Portal Naskah Nusantara), yang diselenggarakan tanggal 24-27 Juni 2009, bertempat di Hotel Sahid Jaya, Solo.
Kegiatan ini bertujuan memperluas wawasan peserta tentang teknis digitalisasi dan pengembangan perpustakaan digital, secara khusus melatih peserta agar mampu melakukan proses digitalisasi naskah, termasuk mengelola teks-teks naskah itu menjadi koleksi naskah digital yang bersifat online.
Peserta workshop pun dibatasi berdasarkan kriteria khusus, sehingga banyak peminat yang terpaksa tidak didaftarkan. Sebagian besar peserta merupakan tim yang sudah tergabung dalam jaringan kemitraan Puslitbang Lektur Keagamaan dalam pernaskahan, antara lain dari Aceh, Pekanbaru, Batam, Padang, Palembang, Banten, Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram, Banjarmasin, Balikpapan, Pontianak, Kendari, dan Makassar.  
Keseriusan acara ini ditunjukkan dengan mendatangkan narasumber, baik pakar atau praktisi dari luar negeri, khususnya Leipzig University, juga pakar pernaskahan dari dalam negeri. Peserta mendapat pengayaan materi antara lain: (1) “Kebijakan Puslitbang Lektur Keagamaan dalam Program Pernaskahan Nusantara” oleh Prof. Dr. H.  Maidir Harun; (2) “Kebijakan Perpustakaan Nasional dalam Digitalisasi Naskah Nusantara” oleh Tuty Hendrawati, S.Sos. (Bidang Transformasi Digital Perpusnas); (3) “Kebijakan Perpustakaan Nasional dalam Konservasi Naskah Nusantara” oleh Anna Soraya (Kepala Bidang Konservasi Perpusnas; (4) “Digitalisasi Naskah dan Penguatan Tradisi Riset” oleh Dr. Oman Fathurahman (Ketua Umum Manassa); 
(5) “Proyek Digitalisasi Naskah-Naskah Jawa Koleksi Yayasan Sastra, Solo” oleh John Paterson, MA (Konsultan Digitalisasi Yayasan Sastra, Solo); (6) “Katalogisasi dan Digitalisasi Naskah Berstandar Internasional” dan “Contoh Proyek Naskah dan Papyrus di Jerman” oleh Dr. Thoralf Hanstein (Koordinator Program Digitalisasi, Leipzig University); (7) “MyCoRe-Database” oleh Ir. Jens Kupferschmidt (ahli informatika dan komputer); 
(8) “Restorasi Naskah: Tahap Pemeliharaan Awal sebelum Digitalisasi (Leaf-casting)” oleh Joerg Graf; (9) “Teknik Scan, Pemeriksaan Kualitas (Kalibrasi), Unggah Gambar ke Database” oleh Gerald Henning dan Thoralf Hanstein; (10) “Manfaat dan Penggunaan Portal Naskah Nusantara” oleh   Oman Fathurahman dan Thoralf Hanstein; (11) “Restorasi Naskah: Tahap Pemeliharaan Awal sebelum Digitalisasi (Tinta Asam)” oleh  Joerg Graf; (12) “Pengayaan Pengalaman Digitalisasi Naskah: Proyek Digitalisasi Naskah-Naskah Pesantren (MIPES)” oleh Drs. Jeje Abd. Rojak, M.Ag. (Koordinator Program Digitalisasi MIPES); (13) “Pengayaan Pengalaman Digitalisasi Naskah: Proyek Digitalisasi Naskah-Naskah Koleksi Masyarakat Pidie, Aceh” oleh Dr. Fakhriati.  
Selain itu, peserta juga dibekali dengan praktek digitalisasi dan open source software pengolahan portal naskah, yaitu: (a) “Praktek dan Pendampingan Digitalisasi Naskah” oleh Bahren, S.S. (Tim Program Digitalisasi Naskah Surau dan The British Library) dan Solihin, S.Sos. (Tim Program Digitalisasi Naskah MIPES dan The British Library); (b) Praktek dan Pendampingan Pembuatan Portal Naskah” oleh Salman Abdul Muthalib, M.Ag. (Tim Kodikologi Program Digitalisasi Naskah Museum Aceh, YPAH, dan Leipzig University) serta Hasnul Arifin M, MA (Tim Program Digitalisasi dan Katalogisasi YPAH, C-DATS, TUFS).
Sebagai hasil dari workshop ini, peserta telah merumuskan sejumlah catatan dan rekomendasi penting. Beberapa catatan tersebut antara lain: (1) Hingga saat ini, manuskrip nusantara masih banyak yang tercecer di masyarakat, kondisi naskah pun sangat rentan dan terancam punah; (2) Peserta sepakat bahwa sikap peduli dalam bentuk pemeliharaan, pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan naskah nusantara perlu segera disosialisasikan dan ditindaklanjuti; (3) Di antara cara penyelamatan naskah tersebut, yang paling mungkin dilakukan adalah pembuatan teks-teks digital dengan memanfaatkan teknologi digital; (4) Peserta optimis bahwa masyarakat akademik pasti akan memperoleh keuntungan dari hasil digitalisasi tersebut, sebab mereka akan sangat mudah mengakses dan memanfaatkan oleh siapa saja dan di mana pun; (5) Upaya  apa pun terkait akses terhadap naskah, seyogyanya tidak disertai sikap eksploitatif terhadap pemilik naskah; (6) Upaya penyelamatan naskah nusantara masih terbentur oleh keterbatasan dana; (7) Upaya pemeliharaan, pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan naskah nusantara tidak mungkin dilakukan sendirian.  
Atas dasar itu, peserta merekomendasikan 4 hal pokok, yaitu; (1) Perlu dibuat “payung bersama” yang dapat menjadi pusat informasi berbagai kegiatan pernaskahan di seluruh Indonesia; (2) Perlu political will dari pihak terkait, khususnya instansi pemerintah dalam mendukung program-program pemeliharaan, pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan naskah nusantara; (3) Peserta memberikan apresiasi kepada Puslitbang Lektur Keagamaan yang telah memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan pernaskahan; (4) Hendaknya masyarakat pencinta naskah terus berupaya menggali potensi diri yang dapat dikembangkan dalam pemeliharaan, pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan naskah nusantara. [teks: kemenag.go.id, foto-foto: derichardhputra]





Pantun Batobo, di Zaman yang Berubah

(Catatan pementasan Pantun Batobo di World Conference on Science, Education and Culture—WISDOM 2010 UGM Yogyakarta) 

tuai… nak padi… dituai… 
oi sipuluik nak… dibuek pokan
tuai.. nak sayang amak sayang padi dituai
amak mangai nak sayang, manca’i makan
layang-layang tobang malayalang
kain sasugi nak, pamagau bonio
layang-layang tobang malayang nak sayang
kain sasugi nak oi sayang
pamagau bonio.
mo basamo poi ka ladang
mananam padi sayang
mananam bonio...


(tuai... (nak) padi dituai...
beras pulut (nak) dijadikan makanan 
tuai... (nak sayang, ibu sayang) padi dituai 
Ibu bekerja (nak sayang), mencari makan 
layang-layang (burung sejenis walet—pen) terbang melayang 
kain sasugi (kain yang tenunannya jarang—pen) (anak sayang) 
memagar benih 
mari bersama pergi ke ladang 
menamam padi (sayang) 
menanam benih...)
Pantun BatoboTim Kesenian Universitas Riau Menampilkan
Visualisasi Pantun Batobo di Prince of Songkla 
University Patani Thailand Oktober 2009. Foto: Arza.
TIGA gadis cantik memakai takuluak barembai (kerudung khas Kuantan Singingi-Riau), tampak asik bekerja dan bersenda gurau di tanah garapan yang hendak disemai. Tak berapa lama, saat panas dan keringat membuat mereka gerah, di sudut ladang, tidak jauh dari gadis-gadis itu bekerja, 3 lelaki muda, juga sebaya dengan gadis-gadis tadi, mengitip di balik ilalang tanpa diketahui gadis-gadis itu. Namun “tragedi” mengintip itu hanya sesaat, ketika para gadis itu menoleh, dan mengetahui keberadaan pemuda-pemuda tadi, ‘kekacauan’ pun terjadi...Dulu, saat hari-hari awal bulan Agustus, ketika musim tanam hendak dimulai, menyambut musim penghujan September, pemuda-pemudi kampung, juga beberapa orang dewasa, bergerombolan membentuk kelompok-kelompok kecil sekitar 20-40 orang berkumpul di rumah tuo tobo (ketua kelompok) masing-masing. Sebelum matahari terbit, mereka berjalan dan bujang gadi (remaja putra dan putri) saling berkenalan mencari ‘pasangan’ ketika menyusuri jalan-jalan setapak di pinggir hutan, matahari baru saja kelihatan ketika mereka sampai di ladang tujuan. 

telusuri

Jalan-jalan ke Singapura: Foto-foto




Kota Singapura. Salah satu sudut kota Singapura dilihat dari lambang pariwisata Singapura.
Lambang Pariwisata Singapura. Pada umumnya turis selalu menyempatkan diri untuk berfoto di tempat ini.



Kelapa Muda. Menikmati kelapa muda yang dijajakan pedagang kaki lima warga keturunan India di salah satu sudut di Singapura.
Salah Satu Sudut Jalan di Singapura. Bersih, tertip, dan tidak ada kenderaan roda dua yang melintas.
Foto-foto koleksi pribadi kunjungan ke Singapura, 24-25 Oktober 2009.



Merokok di Singapura. Hati-hati kamera CCTV mengawas 24 jam bagi perokok.




Sejenak bersama kawan-kawan.

Berkunjung ke Kampung Melayu Thailand: Pattani

Berkunjung ke Pattani, seperti berada di kampung-kampung Melayu di Indonesia tahun 80-an. Anak-anak sekolah—memakai rok dalam, kaus kaki selutut, dan mengayuh sepeda ke sekolah. Sangat surialis.
Gerbang Perbatasan Malaysia-Thailand. Ada jurang yang sangat dalam. [foto: rich]
Salah satu sudut jalan di Pattani. Tidak berbeda jauh dengan jalan-jalan di Indonesia. [foto: rich]
          Pattani merupakan salah satu provinsi (changwat) di selatan Thailand. Provinsi-provinsi yang bertetangga dengan provinsi ini adalah Narathiwat (Menara), Yala (Jala) dan Songkhla (Senggora). Masyarakat setempat menyebut provinsi mereka dengan Patani Darussalam atau Patani Raya.
           Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di perbatasan provinsi Yala(Jala) dan Narathiwat(Menara). Di sini juga terdapat beberapa tumbuhan yang agak unik seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.
Awalnya Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang berdaulat, mempunyai kesultanan dan perlembagaan yang tersendiri. Patani adalah sebagian dari 'Tanah Melayu'. Namun pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam. Pada 1826, penaklukan Siam terhadap Patani mendapat pengakuan Britania Raya.
Dalam usahanya untuk mengokohkan kedudukannya di Pattani, pada tahun 1902 Kerajaan Siam melaksanakan undang-Undang Thesaphiban.
Asrama mahasiswa Prince of Songkla University Pattani Thailand. [foto: zuk]
           Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Pattani telah diakui oleh Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani.
Sejak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani, masyarakat Melayu-Pattani berada dalam posisi tertekan dan lemah. Penduduk Melayu telah menjadi korban sebuah pemerintahan yang tidak diperintah dengan baik. Justru akibat pemaksaan inilah kekacauan sering terjadi di Pattani.
Pattani merupakan salah satu daripada empat provinsi Thailand yang mempunyai mayoritas penduduk beragama Islam (80%). Nama Pattani berasal dari dua perkataan Bahasa Melayu logat setempat yaitu "Pata" ("Pantai") dan "Ni" ("Ini"). Sebagai salah satu wilayah baru yang terbentuk dari Negara Patani awal, demografinya tidak jauh berbeda dengan provinsi-provinsi mayoritas Melayu Islam yang lain seperti Narathiwat (Menara), Yala(Jala), Satun(Sentul) dan Songkhla (Senggora).
Al-Fattani adalah dari perkataan Bahasa Arab bermaksud kebijaksanaan atau cerdik, karena di situ tempat lahirnya banyak ulama dan cendikiawan berbagai golongan dari tanah Melayu (jawi). Banyak juga yang menjadi ahli tafsir Al-quraan, pengarang kitab bahasa Arab dan bahasa Melayu serta banyak juga yang telah menjadi tenaga pengajar di tanah Arab kebanyakan dari Fattani maka orang-orang Arab menggelar mereka adalah orang Fattani. Fattani merupakan serambi Mekah-nya Thailand yang di gelar Fattani Darulsalam.

Secawan Racun untuk Evily

Kau yakin! Tidak ada lagi
Air mata setelah perpisahan ini…

Apakah aku kekasihmu? Mestinya kau kirim setangkai mawar untukku sebelum pertemuan kita hari ini!
dan aku pun hanya bisa menangisi keputusannya seperti seorang geisha tua tak ada lagi lelaki mendekat, berharap di simpang jalan menuju kontrakkan berdiri lagi volvo biru plat merah, bukan sebuah kehangatan malam atau pagi esoknya aku tak tahu harus makan apa, pun ketika pertemuan dua tahun lalu di kota ini—kami selalu bertemu dan berpisah dikota ini—tak ada arti apa-apa lazimnya sebuah pertemuan yang mengharu biru, bahkan pertemuan itu hanyalah seperti perjumpaan di halte bis kota yang mungkin esoknya sudah lupa, paling tidak ia tak perlu berkata “aku rindu padamu atau “aku sebetulnya sudah lama berharap pertemuan ini” atau mungkin “kamu kok ngak berubah, janggutmu masih tipis dan kumismu selalu saja kau cukur”.


Paling ia hanya akan berguman datar tanpa ekpresi “pasti kamu tak berharap apa-apa denganku” Dan esoknya setelah pertemuan terakhir, ia berkirim pesan lagi tetap tanpa sebuah arti “aku berharap pertemuan itu tidaklah yang terakhir kali, setidaknya harus lebih baik”.


telusuri

Back to Top