Mei 2011

Pantun Batobo, di Zaman yang Berubah

(Catatan pementasan Pantun Batobo di World Conference on Science, Education and Culture—WISDOM 2010 UGM Yogyakarta) 

tuai… nak padi… dituai… 
oi sipuluik nak… dibuek pokan
tuai.. nak sayang amak sayang padi dituai
amak mangai nak sayang, manca’i makan
layang-layang tobang malayalang
kain sasugi nak, pamagau bonio
layang-layang tobang malayang nak sayang
kain sasugi nak oi sayang
pamagau bonio.
mo basamo poi ka ladang
mananam padi sayang
mananam bonio...


(tuai... (nak) padi dituai...
beras pulut (nak) dijadikan makanan 
tuai... (nak sayang, ibu sayang) padi dituai 
Ibu bekerja (nak sayang), mencari makan 
layang-layang (burung sejenis walet—pen) terbang melayang 
kain sasugi (kain yang tenunannya jarang—pen) (anak sayang) 
memagar benih 
mari bersama pergi ke ladang 
menamam padi (sayang) 
menanam benih...)
Pantun BatoboTim Kesenian Universitas Riau Menampilkan
Visualisasi Pantun Batobo di Prince of Songkla 
University Patani Thailand Oktober 2009. Foto: Arza.
TIGA gadis cantik memakai takuluak barembai (kerudung khas Kuantan Singingi-Riau), tampak asik bekerja dan bersenda gurau di tanah garapan yang hendak disemai. Tak berapa lama, saat panas dan keringat membuat mereka gerah, di sudut ladang, tidak jauh dari gadis-gadis itu bekerja, 3 lelaki muda, juga sebaya dengan gadis-gadis tadi, mengitip di balik ilalang tanpa diketahui gadis-gadis itu. Namun “tragedi” mengintip itu hanya sesaat, ketika para gadis itu menoleh, dan mengetahui keberadaan pemuda-pemuda tadi, ‘kekacauan’ pun terjadi...Dulu, saat hari-hari awal bulan Agustus, ketika musim tanam hendak dimulai, menyambut musim penghujan September, pemuda-pemudi kampung, juga beberapa orang dewasa, bergerombolan membentuk kelompok-kelompok kecil sekitar 20-40 orang berkumpul di rumah tuo tobo (ketua kelompok) masing-masing. Sebelum matahari terbit, mereka berjalan dan bujang gadi (remaja putra dan putri) saling berkenalan mencari ‘pasangan’ ketika menyusuri jalan-jalan setapak di pinggir hutan, matahari baru saja kelihatan ketika mereka sampai di ladang tujuan. 

telusuri

Jalan-jalan ke Singapura: Foto-foto




Kota Singapura. Salah satu sudut kota Singapura dilihat dari lambang pariwisata Singapura.
Lambang Pariwisata Singapura. Pada umumnya turis selalu menyempatkan diri untuk berfoto di tempat ini.



Kelapa Muda. Menikmati kelapa muda yang dijajakan pedagang kaki lima warga keturunan India di salah satu sudut di Singapura.
Salah Satu Sudut Jalan di Singapura. Bersih, tertip, dan tidak ada kenderaan roda dua yang melintas.
Foto-foto koleksi pribadi kunjungan ke Singapura, 24-25 Oktober 2009.



Merokok di Singapura. Hati-hati kamera CCTV mengawas 24 jam bagi perokok.




Sejenak bersama kawan-kawan.

Berkunjung ke Kampung Melayu Thailand: Pattani

Berkunjung ke Pattani, seperti berada di kampung-kampung Melayu di Indonesia tahun 80-an. Anak-anak sekolah—memakai rok dalam, kaus kaki selutut, dan mengayuh sepeda ke sekolah. Sangat surialis.
Gerbang Perbatasan Malaysia-Thailand. Ada jurang yang sangat dalam. [foto: rich]
Salah satu sudut jalan di Pattani. Tidak berbeda jauh dengan jalan-jalan di Indonesia. [foto: rich]
          Pattani merupakan salah satu provinsi (changwat) di selatan Thailand. Provinsi-provinsi yang bertetangga dengan provinsi ini adalah Narathiwat (Menara), Yala (Jala) dan Songkhla (Senggora). Masyarakat setempat menyebut provinsi mereka dengan Patani Darussalam atau Patani Raya.
           Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di perbatasan provinsi Yala(Jala) dan Narathiwat(Menara). Di sini juga terdapat beberapa tumbuhan yang agak unik seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.
Awalnya Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang berdaulat, mempunyai kesultanan dan perlembagaan yang tersendiri. Patani adalah sebagian dari 'Tanah Melayu'. Namun pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam. Pada 1826, penaklukan Siam terhadap Patani mendapat pengakuan Britania Raya.
Dalam usahanya untuk mengokohkan kedudukannya di Pattani, pada tahun 1902 Kerajaan Siam melaksanakan undang-Undang Thesaphiban.
Asrama mahasiswa Prince of Songkla University Pattani Thailand. [foto: zuk]
           Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Pattani telah diakui oleh Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani.
Sejak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani, masyarakat Melayu-Pattani berada dalam posisi tertekan dan lemah. Penduduk Melayu telah menjadi korban sebuah pemerintahan yang tidak diperintah dengan baik. Justru akibat pemaksaan inilah kekacauan sering terjadi di Pattani.
Pattani merupakan salah satu daripada empat provinsi Thailand yang mempunyai mayoritas penduduk beragama Islam (80%). Nama Pattani berasal dari dua perkataan Bahasa Melayu logat setempat yaitu "Pata" ("Pantai") dan "Ni" ("Ini"). Sebagai salah satu wilayah baru yang terbentuk dari Negara Patani awal, demografinya tidak jauh berbeda dengan provinsi-provinsi mayoritas Melayu Islam yang lain seperti Narathiwat (Menara), Yala(Jala), Satun(Sentul) dan Songkhla (Senggora).
Al-Fattani adalah dari perkataan Bahasa Arab bermaksud kebijaksanaan atau cerdik, karena di situ tempat lahirnya banyak ulama dan cendikiawan berbagai golongan dari tanah Melayu (jawi). Banyak juga yang menjadi ahli tafsir Al-quraan, pengarang kitab bahasa Arab dan bahasa Melayu serta banyak juga yang telah menjadi tenaga pengajar di tanah Arab kebanyakan dari Fattani maka orang-orang Arab menggelar mereka adalah orang Fattani. Fattani merupakan serambi Mekah-nya Thailand yang di gelar Fattani Darulsalam.

Secawan Racun untuk Evily

Kau yakin! Tidak ada lagi
Air mata setelah perpisahan ini…

Apakah aku kekasihmu? Mestinya kau kirim setangkai mawar untukku sebelum pertemuan kita hari ini!
dan aku pun hanya bisa menangisi keputusannya seperti seorang geisha tua tak ada lagi lelaki mendekat, berharap di simpang jalan menuju kontrakkan berdiri lagi volvo biru plat merah, bukan sebuah kehangatan malam atau pagi esoknya aku tak tahu harus makan apa, pun ketika pertemuan dua tahun lalu di kota ini—kami selalu bertemu dan berpisah dikota ini—tak ada arti apa-apa lazimnya sebuah pertemuan yang mengharu biru, bahkan pertemuan itu hanyalah seperti perjumpaan di halte bis kota yang mungkin esoknya sudah lupa, paling tidak ia tak perlu berkata “aku rindu padamu atau “aku sebetulnya sudah lama berharap pertemuan ini” atau mungkin “kamu kok ngak berubah, janggutmu masih tipis dan kumismu selalu saja kau cukur”.


Paling ia hanya akan berguman datar tanpa ekpresi “pasti kamu tak berharap apa-apa denganku” Dan esoknya setelah pertemuan terakhir, ia berkirim pesan lagi tetap tanpa sebuah arti “aku berharap pertemuan itu tidaklah yang terakhir kali, setidaknya harus lebih baik”.


telusuri

Back to Top