03/20/12

Review Buku: Permainan Tradisional Jawa

Judul Buku : Permainan Tradisional Jawa
Penulis   : Sukirman Dharmamulya, dkk.
Penyunting  : Sumintarsih

Ancak-ancak Alis
Si Alis kebo janggitan
Anak-anak kebo dhungkul
Si dhungkul bang-bang teyo
Tiga rendheng
Enceng-enceng gogo beluk
Unine pating cerepluk
Ula sawa ula dumung
Gedhene salumbang bandhung
Sawahira lagi apa?

Atab Lontiok. Rumah Ada Melayu Kampar Riau. foto: Derichard  H. Putra/01
MUNGKIN lirik nyanyian di atas tidak asing lagi bagi kita, apalagi jika permainan tersebut dulunya sering dimainkan untuk mengisi waktu luang. Permainan  yang biasanya dimainkan di ruang terbuka ini, dimulai ketika dua orang anak—yang digelari petani—berdiri berhadap-hadapan. Kemudian, keempat tangan pemain diangkat ke atas dan saling menempel sehingga seolah-olah membentuk sebuah gapura. Kedua anak tersebut kemudian menggerakkan tangannya dan saling bertepuk satu dengan lainnya sambil menyanyikan lirik lagu di atas.

telusuri

Review Artikel: Permainan Tradisional Anak: Perspektif Antropologi Budaya


Judul Artikel: Permainan Tradisional Anak: Perspektif Antropologi Budaya 
Penulis: Heddy Shri Ahimsa-Putra

Masjid Raya Pekanbaru. Bangunan Masjid Raya Pekanbaru
Sebelum di  Pugar. foto:  Derichard H. Putra/01
MENGENANG permainan rakyat yang biasa dimainkan saat masih kecil atau ketika masih di kampung dulu mungkin merupakan kenangan yang mengesankan sekaligus lucu. Walaupun, beberapa permainan yang pernah dimainkan tersebut sudah sangat jarang—kalau tidak mau dikatakan tidak ada—yang bisa ditemukan dan dimainkan oleh anak-anak saat ini. Kemajaun teknologi dan informasi, yang menciptakan mainan-mainan modern—plastik, elektronik, dan games online—telah mengubur masa-masa indah itu. 

Membanjirnya produk-produk ‘asing’ tersebut menyebabkan berbagai macam reaksi dari masyarakat. Menurut Ahimsa-Putra dalam artikel ini, secara umum setidaknya ada tiga reaksi masyarakat dalam memandang dan menilai fenomena permainan anak.

Reaksi yang pertama adalah masyarakat yang menilai positif dengan berbagai macam jenis permainan tersebut. Reaksi ini mucul dari mereka yang beranggapan bahwa berbagai macam jenis permainan baru pada anak-anak memberikan dampak positif terhadap kehidupan anak-anak. Reaksi lainnya adalah masyararakat yang menilai negatif. Walaupun menurut penulis yang betul-betul menilai negatif bisa dikatakan tidak ada dan lebih tepat dikatakan kekhawatiran, reaksi seperti ini lebih disebabkan oleh alasan ekonomis. Reaksi ketiga adalah yang bersifat netral. Pada umumnya masyarakat Indonesia bersifat seperti ini. Reaksi ini disebabkan karena adanya pandangan bahwa pada dasarnya setiap orang sudah mampu menentukan pilihan yang paling baik bagi diri dan keluarganya.

Dalam era globalisasi ini muncul pula pertanyaan, relevankan apabila permainan rakyat digali kembali dalam kaitannya dengan semakin dominannya permainan baru dalam kehidupan anak? Sementara itu parmainan modern yang telah meransek jauh dalam kehidupan bermain anak-anak, selain berakibat menjauhkan anak-anak dari hubungan perkawanan yang personal ke impersonal. Juga menyebabkan menipisnya orientasi wawasan anak komunalistik ke induvidualistik. Sementara itu disadari pula sebagian ilmuan sosial dan humaniora tentang adanya peran yang tidak kecil dari permainan rakyat dihadirkan dan perkenalan kembali lewat penelitian-penilitian, dan kajian-kajian ilmiah.

Berbagai permainan anak sebagai gejala sosial-budaya telah lama menjadi perhatian ilmuwan sosial. Menurut Ahimsa-Putra dalam tulisan ini, dari beberapa literatur asing yang diamati, setidaknya ada empat perpektif yang pernah digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena permainan anak. Keempat perspektif seperti: 1) perspektif fungsional: bermain sebagai “persiapan menjadi orang dewasa”, 2) permainan: bermain (play) sebagai ‘permainan’ (game), 3) psikologi: ‘bermain’ sebagai wujud kecemasan dan kemarahan, dan 4) adaptasi: ‘bermain’ sebagai peningkatan kemampuan beradaptasi.

Perspektif fungsional: Bermain Sebagai “Persiapan Menjadi Orang Dewasa”. Perspekti ini, anak-anak diasumsikan melakukan permainan-permainan yang menyerupai apa yang dilakukan orang dewasa, dengan kata lain bisa disebut dengan “persiapan menjadi orang dewasa”. Pandangan fungsional ini dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, ahli antropologi pelopor teori fungsionalisme. Berbagai permainan anak, misalnya: “pasaran”, ”dokter-dokteran”,”sekolah-sekolah” dan sebagainya, yang biasa disebut “role play” (main peran), merupakan contoh dari permainan anak-anak yang mempunyai fungsi mempersiapkan anak-anak untuk memainkan peran yang sebenarnya ketika mereka dewasa nanti.

Jika dilihat dari sudut pandang ini, kegiatan bermain merupakan kegiatan yang bersifat fungsional untuk proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak. Enkulturasi dimaksudkan sebagai proses penanaman nilai-nilai, atau proses menjadikan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat diterima, dipahami, diyakini kebenarannya dan kemudian dijadikan pembimbing perilaku atau bertindak oleh warga suatu masyarakat, sedang sosialisasi adalah proses mengenalkan dan membiasakan anak pada berbagai induvidu lain, berbagai kedudukan sosial dan peran, berbagai kategori sosial, kelompok dan golongan, serta nilai, norma, dan aturan yang berlaku dalam berinteraksi dengan induvidu dan kelompok tersebut.

Perspektif Permainan: Bermain (play) Sebagai ‘Permainan’ (game). Perspektif ini banyak dipergunakan oleh ahli folkor di akhir abad 19. Hasil yang dicapai lebih banyak bersifat deksripsif, yaitu mengambarkan jenis-jenis permainan yang ada dengan berbagai macam peralatannya, sedang proses-proses sosial dari permainan itu sendiri tidak dimuculkan. Mereka umumnya beranggapan bahwa ‘game’ (permainan) adalah wujud yang paling jelas dari ‘play’. Jadi perhatian para ahli lebih diarahkan pada kegiatan bermain yang terstuktur, seperti yang biasa dilihat dalam ‘permainan’. 

Dari sudut pandang semacam ini para ahli kemudian melakukan berbagai studi perbandingan untuk mengetahui hubungannya dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan di masa lampau. Dengan asumsi-asumsi yang sedikit-banyak etnosentris, atau Eropasentris, para ahli sering kali memandang permainan ini sebagai sisa-sisa dari kegiatan orang dewasa pada masyarakat-masyarakat primitif di masa lampau. 

Perspektif Psikologis: ‘bermain’ Sebagai Wujud Kecemasan dan Kemarahan. Perspektif ini memandang kegiatan bermain anak-anak sebagai fenomena seperti tes proyektif (projective test), yang dapat memperlihatkan kecerdasan-kecerdasan mereka serta sifat-sifat galak mereka yang diduga bersumber pola-pola pengasuh anak dalam suatu kebudayaan. 

Perspektif ini digunakan oleh Robert dan Sutton-Smith (1963). Dua ahli ini mengembangkan hipotesis yang menjelaskan hubungan-hubungan antara jenis permainan, dengan variable pola asuh anak dan variable budaya lainnya. Keterlibatan induvidu dalam permainan ini pada akhirnya akan membuat dia mampu mewujudkan perilaku-perilaku yang mempunyai nilai fungsional dan berguna dalam kebudayaannya (Schwartzman, 1976: 296). Ahli lain yang melakukan penelitian dalam jalur ini adalah R.R Eifermann, yang mencoba mengetahui perbedaan antara sifat-sifat anak di desa dengan anak-anak di kota dengan memperhatikan permainan permainan yang merkea mainkan.

Perspektif Adaptasi: ’Bermain’ Sebagai peningkatan Kemampuan Beradaptasi. Dalam perspektif ini, beranggapan bahwa ‘bermain’ tidak hanya terbatas pada makhluk manusia, tetapi juga berbagai jenis binatang lainnya. Asumsi dibalik pendekatan semacam ini adalah bahwa aktivitas makhluk pada dasarnya mempunyai fungsi tertentu, dan karena salah satu masalah penting yang menyangkut keberlangsungan hidup suatu spesies adalah masalah adaptasi, maka tentunya ‘bermain’ juga mempunyai fungsi dalam kerangka adaptasi makhluk tersebut. Perspektif ini sebenarnya agak dekat dengan prespektif fungsional, akan tetapi berbeda karena dalam prespektif adaptasi ini fungsi bermain tidak hanya bersifat sosial dan cultural, akan tetapi juga ragawi (physical).

Ada dua teori terpenting berkenaan dengan adaptasi makhluk lewat ‘bermain’ ini, yaitu teori ‘arousal’ dan teori ‘educational’. Walaupun tampak saling berlawanan, akan tetapi pada dasarnya kedua teori saling melengkapi. Teori arousal menjelaskan fenomena bermain dalam kerangka jangka pendek, sedangkan teori ‘pendidikan’ (educational) diberikan untuk memberikan pemahaman yang bersifat jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan bahwa setiap organisme pada dasarnya berusaha mempertahankan “an optimal level of arousal”, dan ini berarti bahwa setiap makhluk pada dasarnya selalu menginginkan perubahan-perubahan***

Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra


TULISAN ini merupakan review dari buku Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra karya Heddy Shri Ahimsa-Putra, terbitan KEPEL PRESS, Yogyakarta, Cetakan Pertama tahun 2006.
Tidak banyak buku dipasaran yang bisa kita temui yang secara khusus membahas Strukturalisme Levi-Strauss secara detail dan mendalam, apalagi buku yang disertai dengan contoh-contoh cara analisis ala Levi-Strauss tersebut,   kalaupun ada pada umumnya adalah buku-buku impor yang masih menggunakan bahasa Inggris. Beberapa artikel dan makalah mungkin lumayan banyak kita temui, yang pada umumnya adalah karya Heddy Shri Ahimsa-Putra.
Buku Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra ini bisa dijadikan sebagai rujukan bagi anda yang ingin mendalami Strukturalisme Levi-Strauss khsusus bila ingin melakukan analisis strukturalis terhadap mitos-mitos dan karya sastra yang banyak di jumpai di tanah air.
Buku setebalnya 493 hal + xvi ini, terdiri dari 10 bab yang bisa dibagi dengan 3 kategori besar yaitu (1) Pengantar, memuat sejarah perjalanan hidup Levi-Strauss, (2) Strukturalisme Levi-Strauss, dan (3) Analisis strukturalisme.  Analisis strukturalisme terbagi lagi menjadi 3 kategori yaitu analisis strukturalisme terhadap mitos yang dilakukan oleh Levi-Strauss, analisis strukturalisme terhadap mitos yang dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra, analisis strukturalisme terhadap karya sastra dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra.
Pada bab pertama (pendahuluan), Heddy Shri Ahimsa-Putra (selanjutnya saya sebut penulis) menguraikan riwayat hidup Claude Levi-Strauss secara detail, rinci, dan lengkap. Penulis berusaha mengungkapkan riwayat hidup Claude Levi-Strauss, seorang yang menempuh pendidikan hukum secara formal namun meraih guru besar dalam disiplin ilmu antropologi.
Claude Levi-Strauss adalah seorang berkewargaan negaa Prancis, lahir di Brussles, Belgia pada tanggal 28 November 1905. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sebenarnya minat utama Levi-Strauss semula bukanlah antropologi. Di masa mudanya dia lebih banyak membaca buku hukum dan filsafat, karena pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk fakultas hukum paris dan pada saat yang sama juga belajar filsafat di Universitas Sorbone (hal 8).
Sebuah ekspedisi di pedalaman-pedalaman Amazon yang ia lakukan, juga pengalaman batinnya, lahir sebuah karya semacam laporan perjalanan plus otobiografi yang mengesankan, membutnya ia terkenal di negerinya, Prancis, Tristes Tropique. Buku ini bisa dikatakan semacam ethnographic baptism bagi Levi-Strauss (hal 11). Menurut penulis, dalam buku ini Levi-Strauss bertutur dengan bahasa yang memikat, menyentuh rasa kemanusiaan tentang kisah-kisah tragis suku Indian di belantara Amazon sehingga namanya tidak hanya dikenal di kalangan akademisi tetapi juga khalayak luas masyarakat. Setelah dua kali pencalonan yang gagal yaitu pada tahun 1949 dan 1950, akhirnya Levi-Strauss disetujui diangkat untuk menjadi guru besar antropologi sosial di College de France (hal 16).
Bab kedua, penulis menjelaskan model yang digunakan Levi-Strauss paling banyak adalah model linguistik. Oleh sebab itu pembahasan awal dimulai dengan kajian mengenai bahasa itu sendiri. Meskipun bahasa modelnya bisa berupa homeomorph danparamorph, model dalam strukturalisme adalah paramorph di mana subyek dan sumber model berbeda. “Levi-Strauss memandang fenomena sosial-budaya... sebagai “kalimat” atau “teks” dimana ada suatu kesatuan yang diberi makna oleh seorang pengarang atau pembicara dan diucapkan oleh kata-kata yang membentuk suatu kalimat.
Alasan utama yang mendasari pemikiran tersebut adalah dari dua hukum yaitu arti dari sebuah teks tergantung pada arti dari bagian-bagiannya dan yang terakhir adalah “makna dari setiap bagian atau peristiwa dalam sebuah teks ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat menggantikannya tanpa membuat keseluruhan teks menjadi tidak bermakna atau tidak masuk akal” (h 32).
Menurut penulis, untuk melihat alasan kenapa Levi-Strauss menggunakan model dari bahasa, bisa dilihat dari dua ahli bahasa yang sangat mempengaruhi Levi-Strauss yaitu Ferdinand de Saussure dan Roman Jakobson. Di buku ini penulis menjelaskan secara rinci Saussure dan Jakobson beserta paradigma-paragdima yang dipakai kedua tokoh tersebut.
Menurut Ferdinand de Saussure, setidaknya ada lima butir yang dipakai Ferdinand yang mempengaruhi Levi-Strauss yaitu penanda (Signifier) dan Tinanda (Signified), wadah (Form) dan Isi (Content), bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole), sinkronis (Synchronic) dan diakronis (Diachronic), sintagmatik (Syntagmatic) dan paradigmatic (Associative).

Ringkasan kelima butir-butir tersebut bisa dilihat di sebagai berikut:
Penanda (Signifier) dan Tinanda (Signified). Saussure menyatakan bahwa bagian dasar dari bahasa adalah linguistic sign yang mewujud dalam bentuk kata-kata. “Bagi de Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata dan secara psikologis pikiran kita ... hanyalah suatu massa yang tak terbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan” (halaman 35 paragraf 2). Pandangan ini menimbulkan suatu pertanyaan atas makna dari kata-kata. Saussure mengungkapkan akan adanya signifier dan signified yang melekat pada sebuah kata dan adanya bentuk dan isi dari kata itu sendiri. Saat kita mengucapkan sebuah kata yang terwujud dengan suara, akan timbul konsep atau yang saya sebut pemvisualisasian dalam pikiran kita atas apa yang dikandung dalam kata tersebut. Kata yang berbeda akan menimbulkan suara yang berbeda dengan pemvisualisasian yang berbeda pula. Jelas nampak di sini adanya hubungan antara penanda dan tinanda (yang ditandai). Contoh: pada saat seseorang menyuarakan atau mengucapkan kata televisi maka visualisasi akan kata televisi yang ada dalam pikiran saya adalah bentuk tv itu sendiri yang berupa kotak persegi panjang dengan beberapa tombol dan antena.
Wadah (Form) dan Isi (Content). Suatu kata memiliki wadah yang tetap dengan isi yang bisa berubah-ubah. Isi yang berubah-ubah ini berhubungan dengan kata-kata yang ada pada sebelum dan sesudah kata itu sendiri. Adanya perubahan isi karena kata-kata yang mendahului atau mengikuti kata itu membuat Saussure sampai pada dua pandangan yaitu bahwa “bahasa tidak lain adalah seperangkat perbedaan-perbedaan” (halaman 41 paragraf 3) dan “bahasa juga merupakan istilah-istilah yang saling tergantung (interdependent terms), dimana nilai dari setiap istilah atau kata adalah hasil dari kehadiran, keberadaan, istilah-istilah yang lain sekaligus” (halaman 42 paragraf 2).
Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole). Langue, diutarakan dalam buku ini, adalah aspek sosial dari bahasa sedangkan Paroleadalah “wujud atau aktualisasi dari Langue” (halaman 43 paragraf 3) atau pada halaman berikutnya di ungkapkan bahwa tuturan merupakan sisi empirik, sisi kongkrit dari bahasa sedangkan bahasa sendiri merupakan struktur yang tidak tampak. Karena bahasa mengalami perkembangan atau bersifat diakronis, Saussure membatasi kajian bahasanya pada bahasa yang bersifat sinkronis atau statis.
Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic). Dari uraian di atas jelas bahwa Saussure sadar adanya bahasa yang bersifat sinkronis dan diakronis. Oleh Saussure kemudian bahasa dibedakan menjadi bahasa sebagai sistem, atau yang bersifat sinkronis, dan bahasa yang telah telah mengalami evolusi. Menurut Ahimsa hal ini berhubungan dengan sifat arbitrair dari penanda dan tinanda dimana apabila terjadi perubahan pada bahasa maka akan terjadi pula perubahan pada penanda dan tinanda sehingga tanda “didefinisikan sebagai suatu entitas (entity) yang bersifat relasional atau dalam relasi-relasinya dengan tanda-tanda yang lain” (halaman 47 baris 1-2). Namun apabila kita ingin menentukan elemen-elemen dari bahasa, maka bahasa yang bersifat sinkronis lah yang harus dikaji.
Sintagmatik (Syntagmatic) dan Paradigmatic (Associative). “Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakannya dalam sebuah kalimat” (hal 47). Menurut penulis“Hubungan paradigmatis dari seuah kata adalah hubungan-hubungan esensial yang dimilikinya di luar hubungan sintagmatik” (ha 49) sedangkan pandangan Saussure mengenai hubungan paradigmatis adalah “hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata lain yang dapat menggantikanya dalam suatu kalimat tanpa membuat kalimat tersebut secara sintagmatis tidak dapat diterima atau tidak bermakna” (hal) dan pandangan yang terakhir ini lah yang menjadi landasan konsep relasi paradigmatis dalam strukturalisme.
Penulis juga menjelaskan pandangan ahli fonologi yang mempengaruhi Levi-Strauss yaitu Nikolai Troubetzkoy yang beranggapan“fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa dan bukan ide yang diambil dari pengetahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti” (hal 58). Nikolai juga memandang perlunya distinctive feature. Analisis struktural Nikolai mengutamakan perlunya 4 hal yang harus diperhatikan yaitu beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar, memperhatikan relasi-relasi antarisitilah atau antarfonem sebagai dasar analisis, memperlihatkan sistem-sitem fonemis dan menampilkan struktur dari sistem tersebut, harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan  yang mereka teliti. (hal 59)
Ada empat asumsi-asumi dasar Strukturalisme Levi-Strauss, keempat hal terebut adalah: (1) Segala aktivitas sosial dan hasilnya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, (2) “Dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang “normal”, yaitu kemampuan structuring untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapi” (ha 67). “Struktur yang ada pada sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah kostum, sebuah rituil, tatacara memasak dan sebagainya merupakan struktur-struktur permukaan” (hal 67), (4) “Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut”, dan (5) “Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition)” (hal 69)
Bab ketiga, penulis menyajikan pemahaman Levi-Strauss terhadap mitos, Mitos dalam konteks strukturalisme Levi-Strauss tidak lain adalah dongeng. Pengertian mitos dalam strukturalime levistrauss berbeda dengan pengertian mitos yang biasa digunakan dalam kajian mitologi. Dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsure-unsur khayalan tesebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam dongeng inilah khyalan manusia memperoleh kebebasan mutlak, karena disitu tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan dongeng apa saja (hal 77).
Levi-Strauss beranggapan bahwa para ahli antropologi sebaiknya mengarahkan perhatian merka pada mekanisme bekerjanyahuman mind atau nalar manusia dan mencoba memahami strukturnya (hal 75) dan masyarakat sederhana diusulkan untuk dikaji karena proses-proses pemikiran mereka masih sederhana atau kalau yang saya pahami masih natural sebagaimana adanya tidak seperti masyarakat Eropa yang menurut Levi-Strauss telah banyak dipengaruhi oleh kondisi yang tidak natural. Mitos atau dongeng menurut Ahimsa diketengahkan karena merupakan perwujudan dari pemikiran-pemikiran masyarakat sederhana tersebut dimana hal-hal yang tidak masuk akal ditemukan. Kemiripan dongeng satu dengan yang lain, walaupun dongeng-dongeng tersebut berasal dari daerah yang berbeda-beda, dipandang bukanlah suatu kebetulan oleh Levi-Strauss. Kemiripan ini menjadi landasan Levi-Strauss untuk mengkaji nalar manusia. Alasan lain dikajinya mitos adalah persamaanya dengan bahasa dimana mitos dan bahasa kedua-duanya dalah media komunikasi untuk menyampaikan pesan dan juga adanya aspek langue dan parole dalam mitos yang ditunjukkan dengan beradanya mitos dalam reversible dan non-reversible time. Diajukan juga suatu pandangan bahwa karena makna dalam bahasa terletak pada kombinasi fonem-fonem maka mitos juga perlu dikaji dengan melihat “kombinasi dari berbagai tokoh dan perbuatan mereka serta posisi mereka masing-masing dalam kombinasi tersebut” (hal 84).
Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya asumsi-asumsi dasar pengkajian mitos yaitu Mitos terbentuk dari constituent units, Walaupun unit-unit dalam mitos ini sama seperti unit-unit bahasa, mereka juga berbeda satu dengan yang lain yang kemudian disebut sebagai gross constituent units atau mythemes, dan Mitos diperlakukan sebagai simbol dan tanda sekaligus.
Levi-Strauss juga beranggapan bahwa mitos juga sama dengan musik, keduanya perlu perhatian dari struktur-struktur mental yang ada pada manusia, memerlukan dimensi waktu untuk mewujud dan keduanya melebihi bahasa lisan karena maknanya tidak dapat dipahami seperti kita memahami bahasa lisan atau kata demi kata.

Analisis Struktural Mitos
Levi-Strauss bukanlaah orang pertama yang menganalisa mitos secara struktural. Beberapa ilmuwa pendahulunya telah merintis jalan tersebut sebelumnya. Namun menurut levi-Strauss hanya ada tiga orang yang dianggapnya sebagai tokoh strukturalisme tulen di perancis, yakni Benveniste, Dumezil dan dirinya sendiri. Pengunaan analisis strukturalnya terhadap fenomena kekerabatan dan perkawinan , mitos, totemisme, dan topeng merupakan bukti yang sulit di bantah bahwa levi-Strauss adalah tokoh yang paling maju, paling konsisten, serta paling yakin dengan paradigm strukturalnya (hal 99).
Mitos dalam perspektif ini, menurut penulis merupakan sebuah penyampaian pesan dari masa lalu ke masa kini, namun untuk mengungkap pesan “terselubung” tersebut diperlukan sebuah perspektif untuk menguaknya. Penulis mencoba menjelaskan landasan pemikiran untuk analisa mitos yaitu (1) mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, (2) hanya ciri-ciri tertentu mitos yang dapat disamakan dengan ciri-ciri bahasa, dan (3) ciri-ciri mitos lebih kompleks dan rumit daripada bahasa.
 Sedangkan untuk prosedur analisa, mencari dan menyusun miteme bisa dilakukan seperti berikut (1) Mencari miteme. Miteme adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat oppositional, relatif dan negatif(halaman 94). Miteme juga merupakan segmen atau peristiwa. (2) Menyusun miteme. Bundles of relations perlu ditemukan dan dianalisis dalam tahap ini yang kemudian disusun secara paradigmatis dan sintagmatis.
Pada bab-bab selanjutnya, ditampilkan analisis struktural terhadap mitos dan karya sastra, di bawah ini saya tampilkan ringkasan dari analisis tersebut.

Dongeng Bajo
Orang bajo hidup tersebar dan mengembara di lautan luas tidak hanya di kawasan Indonesia, tetapi juga di perairan asia tenggara. Ada yang berpendapat orang bajo berasal dari Malaysia, ada juga yang berpendapat orang bajo berasal dari daerah wajo, di Sulawesi selatan. Orang bajo banyak meleatkan harinya di lautan dengan hidup dalam kelompok-kelompo kecil, menggunakan perahu untuk berpindah-pindah adari satu pantai ke pantai lainya di kepulauan nusantara.
Menganalisa dongeng bajo secara structural cukup berbeda dengan cara anlisa levi strauss menganalisa kisah Oedipus maupun kisah yunani lainya. Yang tidak membagi dongeng-dongeng ke dalam beberapa episode. Dalam kisah bajo dongeng dibagi ke dalam beberapa episode dengan terlebih dahulu  membaca keseluruhan cerita agar mendapatkan kesan pengetahuan cerita tersebut. Setelah itu membaginya dalam beberapa episode.
Setiap episode ini umumnya berisi tentang deskripsi tindakan  atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, sebagaimana yang dikatakan oleh Levi-Strauss tindakan atau peristiwa ini–yang merupakan miteme-hanya dapat ditemukan pada tingkat kalimat.

Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi
Metode yang digunakan dalam menganalisa ketiga novel di atas adalah analisa Levi Strauss sebagaimana yang didapatkan pada mitos-mitos Indian dari Amerika. Namun tetap ada perbedaan mengingat objek analisanya juga berbeda. Dan berbeda pula dengan metode yang digunakan pada Dongeng Bajo. Pada bab ini menggabungkan analisis Struktural Levi-Strauss dengan pendekatan hermeneutika. Maka persepektif yang digunakan oleh penulis buku adalah Sturuktural-Hermeneutik Struktural-Hermeneutik selain mengungkapan struktur di balik yang tampak, mencoba memberikan tafsir lebih lanjut atas struktur tersebut serta hubunganya dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Beberpa hal yang dapat dicatat dari hasil analisis, pertama bahwa karya-karya sastra umar kayam yang diulas memiliki benang ceriteme yang terjalin satu sama lain sedemikian rupa sehingga karya-karya tersebut tampak sebagai sejumlah variasi yang bergerak di sekitar sebuah tema. Kedua, dalam beberapa karya umar kayam tersebut tersembunyi struktur-struktur tertentu yang sedikit banyak menjelaskan mengapa beberapa tokoh-tokoh tersebut jatuh ke lunbang-lubang nasib mereka. Struktur-struktur tersebut adalah struktur sejarah kehidupan dan struktur segitiga tegak dari tokoh-tokoh tersebut. Ketiga, kebebasan pengarang yang biasa dianggap sebagai sebuah kenyataan yang tak terbantah, ternyata tidak selamanya benar. Keempat, nilai jawa sak madya, tokoh mitis semar, sosok nyata umar kayam dan tokoh etnografis tun, bawuk dan hari dapat ditafsirkan sebagai perwujudan prinsip nalar jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan menyatukan elemen-elemen berlawanan, pada tataran nilai, mitos, individu dan hasil karya individu.

Priyayi Dalam Parapriyayi
Dongeng para priyai merupakan kelanjutan dari upaya umar kayam untuk menjelaskan peristiwa yang dahsyat di Indonesia, yaitu G-30 S/PKI, yang telah memakan banyak jiwa. Sementara itu posisinya  sebagai penulis juga tidak berubah, dia masih menjadi aktor yang terlibat yang membuat tafsir  atas segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya.
Dalam konteks analisis ini dapat dikatakan bahwa realitas sosial budaya, karya sastra dan pemikiran Umar Kayam adalah system-sistem kode yang menjadi sarana sang sturktur untuk mengejawantahan dirinya.

Mitos Dan Sinkretisasi Islam Di Jawa
Islam di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri. Dengan berbagai ritus pola keberagaman yang cukup berbeda. Hal ini disebabkan akan beragamnya suku budaya di tanah air. Relasi antar sturuktur di dalamnya membentuk sebuah harmoni tersendiri.termasuk di dalamnya proses sinkretisasi.
Sinkretisasi oleh sebagian antropologi dianggap sebagai salah satu dari akultrasi, yakni, (1) penerimaan, (2)penyesuaian, (3) reaksi. Sinkretisasi adalah penyesuaian atau adaptasi yang dartkan sebagai sebuah proses menggabungkan, mengkombinasikan, unsur-,unsur asli dengan unsure-unsur asing ini munculah kemudian sebuah pola budaya baaru yang dikatakan sinkretis (Ahimsa 2009:338).
Mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat jawa sebagaimana yang tercantum antara lain babad tanah jawi, di dalamnya terdapat struktur berpikir orang jawa.
Struktur pemikiran ini mencerminkan upaya kognitif orang jawa untuk menselaraskan dan menggabungkan berbagai elemen budaya pra-islam, budaya jawa dengan elemen budaya islam dlam suatu kerangka simbolis yang dapat mereka gunakan untuk menafsirkan, memahami dan emanfaatkan  berbagai prinsip ajaran, prilaku dan lingkungan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.beberapa relasi yang dihasilkan orang jawa yang diwujudkan menjadi; (1) relasi genealogis, (2) relasi analogis, (3) relasi historis, (4) relasi profesis, (5) relasi kooperatif.
Islam mempunyai peranan penting dalam kebudayaan jawa, begitupun jawa dalam ranah pola keberagaman islam. Sehingga kelak akan menjadi prototype apa yang dinamakan islam rahmatan lil “alamin.

Sawerigading, Dwi Sri, Larangan Incest dan Kekuasaan
Sawerigading adalah mitos dari kalangan orang bugis makasar, dan mitos Dewi Sri berasala dari kalangan orang jawa. Kedua mitos ini sangat popular di antara pendukungnya. Ini terlihat antara lain dengan banyaknya versi sawerigading di masyarakat bugis dan dewi sri di masyarakat jawa. Ada beberapa alasan mengapa menganalisanya dengan analisa structural Levi-Strauss.
Pertama, bahwa paradigm ini sangat membantu peneliti memahami mitos dalam konteks budayayang lebih luas, dan akhirnya pemahaman atas budaya dan masyarakat pemilik mitos itu sendiri. Kedua, adanya konsep mytheme (miteme) yang mengacu unit-unit dalam sebuah mitos yang menunjukan relasi tertentu antara tokoh di situ (Levi-Strauss). Ketiga, adalah perhatian strauss pada fenomena pernikahan antar kelompok, pertukaran sosial, dan relasi-relasi kekerabatan, serta strategi analisis sosial ini dengan relasi-relasi lain dalam mitos
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari analisa structural dan studi perbandingan mitos sawerigading dan dewi sri antara lain:
Pertama, atas dasar persamaanya mitos Sawerigading dan Dewi Sri dapat dikatakan sebagai mitos-mitos tentang larangan incest. Kedua, pada mitos Sawerigading kategori sosial individu  yang dijadikan contoh kekerabatan adalah sepupu dengan memperhatikan status dan lapisan sosial. Sedangkan dalam Dewi Sri kategori sosial individu yang disarankan untuk tidak diambil jodoh adalah raksasa atau bukan kerabat atau orang yang berbeda latarbelakang sosial dan budaya, yang kurang baik watak dan prilakunya.ketiga,mitos sawerigading dapat dikatakan sebagai slah satu unsure budaya yang menguatkan dan melegitimasi pernikahan ktertentu. Demikian pula yang terjadi pada mitos dewi sri. Keempat jodoh yang ideal dalam kedua mitos itu terkait dengan konsepsi masyarakat tentang kekuasaan. Kelima, mitos Sawerigading merupakan mitos politik, demikian juga pada mitos Dewi Sri.
Pada bab penutup, penulis jelas-jelas menegaskan bahwa analisa Struktural Levi-Strauss dapat memahami gejala-gejala sosial-budaya yang berkembang di masyarakat. Ada beberapa hal penting yang harus diingat tentang paradigama ini yaitu: (1) Levi-Strauss menggunakan paradigma strukturalnya tidak hanya untuk menganalisa mitos, tetapi juga menganalisa gejala sosial-budaya lainya, dan (2) Paradigma Struktural Levi-Strauss bukanlah segala-galanya. Selain itu,  Strukturalisme Levis-Staruss juga berupaya menjelaskan perubahan-perubahan dalam arti perbedaan-perbedaan antar kebudayaan, tetapi dengan menggunakan asumsi yang berlainan dengan sejarah yaitu diskontinuitas antar kebudayaan dan fenomena kebudayaan.
Kelebihan utama buku ini bisa dilihat dari cara penulisan yang sangat detail dan rinci, sehingga sangat memudahkan pembaca untuk memahami dan mencoba untuk melakukan analisis Strukturalisme, pertama penulis menceritakan sejarah hidup Levi-Strauss, paradigmaStruktural Levi-Strauss, analisis mitos yang dilakukan Levi-Strauss, lalu kemudian penulis melakukan analisis berdasarkan dari apa yang pernah dilakukan Levi-Strauss, walaupun ada beberapa perubahan. Hal ini tentu sangat membantu pembaca dalam memahami dan mendalami buku ini. Selain itu, penjelasan stukturalisme Levi-Strauss sangat komprehensip dan mendetail disertai contoh-contoh analisa dari mitos di Indonesia. Kekurangan buku ini, jujur saya belum bisa mengkritisinya. Saya belum terlalu memahami paradigma ini***

Bomo Dulu, Dokter Kemudian

Catatan dari Ekspedisi Kebudayaan Sungai Siak

MATAHARI baru saja terbenam, lampu pijar 15 watt dari genset desa terang temaram menerangi ruangan 5 x 6 meter persegi. Di salah satu sudut ruangan, berdekatan dengan pintu tengah menuju ruang tamu, tampak 4 batang lilin berjejer yang terbuat dari lilin sarang lebah yang didirikan di atas wadah yang berisi air kembang. Di tengah ruangan, satu setengah meter dari ramuan-ramuan tadi, tergeletak kursi siap pakai yang dibuat dari batang pisang yang dihiasai daun kelapa muda membentuk janur-janur yang berukir bunga dan rumpun-rumpun bambu. Beberapa pihak keluarga masih sibuk menata beberapa perlengkapan yang telah dipersiapkan dari subuh tadi.
Beberapa tamu, dan juga 4 orang  tim ekspedisi duduk berjejer di dinding ruang keluarga sambil mempersiapakan peralatan rekam masing-masing. Suasana begitu senyap, hening dan yang ada hanya bau kemenyan menyengat hidung membuat bulu tengkuk berdiri. Tak berapa lama kemudian, seseorang yang ditunggu-tunggupun datang, ia memakai sarung, baju kemeja kotak-kotak dan peci putih menutupi kepala.
“Ini Bomo, beliau baru saja mengambil wudhu dan shalat, beliau nanti yang akan melakukan pengobatan ini” jelas Pak Surya pemilik rumah kepada penulis. Sang Bomo yang belakangan kami ketahui bernama Ernalis atau lebih dikenal panggilan Pak Can merupakan warga asli kampung, yang namanya sudah dikenal hingga ke tetangga sebelah.
Pengabotan yang dimaksud Pak Surya adalah pengobatan Gengulang Puteh serba tujuh daun, bunga dan hiasan. Pengobatan ini merupakan langkah kedua setelah pengobatan Ayie Sibuyung yang berfungsi melihat sakit si pasien. Jika seandainya pada Gengulang Puteh si sakit tidak juga sembuh maka dilakukan proses selanjutnya yaitu Gengulang Kuning Muda serba lima yang memiliki lima daun, bunga, dan hiasan. Jika tidak juga sembuh maka dilakukan Gengulang Kuning Tua serba tiga yang memiliki tiga daun, bunga dan hiasan. Dan yang terakhir Gengulang Puteh Buyung Tunggal. Jika tidak juga sembuh, maka si Bomo tidak mampu lagi melakukan pengobatan.
Pengobatan Gengulang hampir sama dengan babalian atau pengobatan tradisional lainnya di Riau seperti Buwuang Kuayang, Turun Jin, dan lain-lain.
 “Masyarakat  sini sudah menjadi tradisi kalau sakit harus berobat ke Bomo dulu sebelum ke dokter,” tutur Pak Ernalis atau lebih dikenal di dengan panggilan Pak Can, Bomo yang juga sekaligus tokoh masyarakat Muara Bungkal ini tidak hanya “spesialis” dalam mengobati yang sakit, tapi juga sebagai Bomo dalam prosesi nikah kawin.
“Jam terbang” Pak Can juga terbilang cukup tinggi, ia tidak hanya mengobati atau Bomo dalam prosesi nikah kawin di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung tetangga yang berdekatan dengan Muara Bungkal.
“Jika mau melihat nikah kawin, datanglah nanti ke Kampung Lubuk Jering, nanti saya juga di sana”, tawar Pak Can kepada tim ekspedisi.
Ritual Gengulang yang disaksikan tim ekspedisi merupakan suatu kebetulan, Ketika tim ekspedisi singah di Kampung Muara Bungkal, salah seorang warga ada yang sakit dan akan dilakukan pengobatan Gengulang. Setelah minta izin ke tuan rumah dan sang Bomo, kamipun diberi kesempatan melihat ritual pengobatan tersebut.
Prosesi pengobatan di mulai dari pukul 20.00 Wib, diawali dari Sang Bomo memantrai 4 air kembang yang berisi 7 macam bunga, 7 macam bedak, dan 7 macam kembang (bertih), dan peralatan lainnya sepereti mayang, lilin yang dibuat dari lilin lebah, daun kelapa muda, dan sebuah kursi yang dibuat dari batang pisang dihiasi dengan berbagai bentuk daun kelapa muda. Semua peralatan tersebut telah disediakan oleh tuan rumah atau keluarga si sakit.
Setelah hampir satu jam, si pasien di panggil dan dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Sang Bomo lalu memantrai dan menyebarkan bunga, daun, dan kembang sambil mengelili pasien berualng-ulang sebanyak 21 kali yang dibagi menjadi 3 bagian. Setiap bagian sang Bomo menggunakan peralatan yang berbeda. Bagian pertama menggukan mayang, bagian kedua semacam cambuk yang terbuat dari daun kelapa muda, dan bagian ketiga semacam rumpun bunga yang juga terbuat dari daun kelapa muda. Dibagian akhir dari prosesi pengobatan, si pasien dimandikan dengan air kembang*** [Derichard H. Putra]

Dipublikasikan di www.kompasiana.com, 12 Juni 2011
http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/12/bomo-dulu-dokter-kemudian/ 

Back to Top