Pantun Batobo, di Zaman yang Berubah

(Catatan pementasan Pantun Batobo di World Conference on Science, Education and Culture—WISDOM 2010 UGM Yogyakarta) 

tuai… nak padi… dituai… 
oi sipuluik nak… dibuek pokan
tuai.. nak sayang amak sayang padi dituai
amak mangai nak sayang, manca’i makan
layang-layang tobang malayalang
kain sasugi nak, pamagau bonio
layang-layang tobang malayang nak sayang
kain sasugi nak oi sayang
pamagau bonio.
mo basamo poi ka ladang
mananam padi sayang
mananam bonio...


(tuai... (nak) padi dituai...
beras pulut (nak) dijadikan makanan 
tuai... (nak sayang, ibu sayang) padi dituai 
Ibu bekerja (nak sayang), mencari makan 
layang-layang (burung sejenis walet—pen) terbang melayang 
kain sasugi (kain yang tenunannya jarang—pen) (anak sayang) 
memagar benih 
mari bersama pergi ke ladang 
menamam padi (sayang) 
menanam benih...)
Pantun BatoboTim Kesenian Universitas Riau Menampilkan
Visualisasi Pantun Batobo di Prince of Songkla 
University Patani Thailand Oktober 2009. Foto: Arza.
TIGA gadis cantik memakai takuluak barembai (kerudung khas Kuantan Singingi-Riau), tampak asik bekerja dan bersenda gurau di tanah garapan yang hendak disemai. Tak berapa lama, saat panas dan keringat membuat mereka gerah, di sudut ladang, tidak jauh dari gadis-gadis itu bekerja, 3 lelaki muda, juga sebaya dengan gadis-gadis tadi, mengitip di balik ilalang tanpa diketahui gadis-gadis itu. Namun “tragedi” mengintip itu hanya sesaat, ketika para gadis itu menoleh, dan mengetahui keberadaan pemuda-pemuda tadi, ‘kekacauan’ pun terjadi...Dulu, saat hari-hari awal bulan Agustus, ketika musim tanam hendak dimulai, menyambut musim penghujan September, pemuda-pemudi kampung, juga beberapa orang dewasa, bergerombolan membentuk kelompok-kelompok kecil sekitar 20-40 orang berkumpul di rumah tuo tobo (ketua kelompok) masing-masing. Sebelum matahari terbit, mereka berjalan dan bujang gadi (remaja putra dan putri) saling berkenalan mencari ‘pasangan’ ketika menyusuri jalan-jalan setapak di pinggir hutan, matahari baru saja kelihatan ketika mereka sampai di ladang tujuan. 

Ketika kelelahan setelah setengah hari bekerja, pertunjukan pun dimulai. Dan bujang gadi yang telah menemukan ‘pasangan’ di perjalanan tadi, merekapun kembali bertemu, melanjutkan cerita yang terputus, mengenal lebih jauh, dan memang perayaan-perayaan seperti inilah yang mereka harapkan. Seperti halnya perayaan-perayaan lainnya, perayaan-perayaan itu merupakan tempat mencari jodoh: adat mendidik mereka tabu jika berkenalan dan bertemu di hari-hari biasa. 

Ferformance, Estetika, dan Perlawanan
Pertunjukan dimulai dengan “nyanyian” pantun batobo oleh seorang perempuan di pinggir panggung diiringi sayup-sayup melodi biola bernuasa alam. Seorang gadis, belia, dengan komunikasi visual tubuh—sedikit bahasa mulut—memasuki “ladang” dan mulai bekerja membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh sambil merapikan kain dan selendang yang mulai longgar. 
Setelah nyanyian hampir usai, gadis tadi dengan gerakan absrak memanggil dua temannya untuk mendekat dan bekerja bersama. Ketika sang teman datang, mereka saling melempar senyum, begitu ramah. Sebuah awal yang apik dari suatu “esai puitik” yang seolah seperti hendak mengarah ke kesan surealis.
Biola yang dimainkan di awal pertunjukan, beriringan dengan lenggak-lenggok gadis-gadis itu dengan gerakan teaterikal yang sempurna, seakan membawa kita lebih dekat untuk mengetahui lebih dalam adegan-adegan selanjutnya. Dan ketika biola tidak lagi terdengar, sunyi senyap suanana peladangan pun terasa, dan gadis-gadis itu masih saja disibukkan dengan pekerjaan mereka. Dialog-dialog yang natural pun dimulai.
Pertunjukan pantun batobo di ajang World Conference on Science, Education and Culture—WISDOM 2010, 5-8 Desember ini, dirangkai menjadi satu bagian dengan ‘kekayaan’ khas Riau lainnya: syair, silat, zapim, koba, kayat dan joget. Setiap pertunjukan dipisahkan dengan syair sebagai pembatas bagian-bagian itu dan juga sebagai jeda waktu bagi pemain mengganti kostum di belakang panggung.
Di dalam pertunjukan, sejumlah kontruksi jenis seni diramu menjadi satu kesatuan, drama, musik (vokal–instrumen), gerak (tari), dan seni sastra. Dan juga di didukung efek-efek yang terdengar begitu halus (biola), dan berbagai peralan pendukung lainnya.
Penggabungan estetika tradisional dan modern, juga disusun afik sang sutradara dengan koreografi dan presentasi artistik dari awal hingga akhir pertunjukan. Kombinasi skenario fiktif dan aktual, bisa kita anggap sesuatu yang sangat unik. Didukung gerakah tari yang modern dan artistik ala “ladang”, bahasa tubuh gadis-gadis kampung yang pemalu, ekspresi wajah dan mata yang berbinar. “Persembahan yang menarik”, ujar salah seorang penonton yang juga peserta di Wisdom tersebut.
Panggung yang agak sempit, juga lighting yang minim, menyebabkan struktur cerita sedikti terlihat sederhana: “hanya” sebuah pertemuan kaula muda di ladang padi. Tetapi mungkin kesederhanaan itu yang membuat pertunjukan ini terkesan rapi dan berisi, dan penontonpun tidak dipusingkan lagi menebak atau mereka-mereka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sekilas, dibalik pertunjukan ini sepertinya ada sebuah pesan moral yang hendak disampaikan, ketika kearifan lokal digaungkan menjadi solusi perubahan dunia (tema Wisdom), namun kearifan lokal itu begitu nyata hilang di depan mata. Dan pertunjukan ini, seperti ‘perlawanan’ akan hal itu, ketika kebijkan penguasa terkesan memarginalkan petani—memanjakan perusahaan-perusaahn besar—kearifan lokal inipun mulai hilang. Batabo selain kebersamaan dan saling membantu, juga merupakan legitiminasi kepemilikan lahan pertanian bagi individu-individu, sebab yang menjadi anggota batobo adalah yang memiliki ‘sekeping lahan’, atau setidaknya “berani” membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian—dan kini hutan itu sudah tidak ada lagi sebagai ulayat mereka.
Dan pertunjukan itu tetap saja berlanjut, tak menghiraukan penonton (baca: peserta Wisdom) yang lalu lalang menikmati hidangan yang disediakan penyelenggara atau carut marut pikiran mereka dengan materi seminar yang melelahkan. Di siang itu, di gedung Graha Saba Pramana tempat helat akbar World Conference on Science, Education and Culture—WISDOM 2010 UGM digelar, kita seperti membaca Riau di masa lalu.

Batobo; Panutun Batobo
Batobo adalah semacam organisasi tani yang berkembang dan bertahan hingga kini (walaupun mungkin tidak sepopuler tahun-tahun 80 an) yang terdapat dalam masyarakat Melayu Kampar dan Kuantan di Provinsi Riau. Tobo=toboh diterjemahkan oleh KBBI sebagai kelompok atau sekawan, dan batobo=bertoboh-toboh, dalam KBBI diartikan berkelompok-kelompok/beregu-regu/berkawan-kawan. Dan yang dimaksud dalam batobo di sini adalah bersama atau berkawan-kawan mengerjakan ladang atau tanah pertanian lainnya (pada umumnya ladang atau sawah) secara bergiliran di antara anggota tobo.
Awalnya, batobo dilakukan oleh kaum perempuan, karena laki-laki umumnya tidak menetap di kampung, sehingga urusan pertanian diserahkan sepenuhnya kepada kaum perumpuan. Tobo yang anggotanya perempuan ini disebut tobo induok-induok (tobo ibu-ibu). Kemudian berkembang dengan adanya tobo bujang yang beranggotakan laki-laki, kemudian berkembang lagi dengan adanya tobo bujang gadih (tobo campuran) yang anggotanya terdiri dari laki-laki dan perempuan, baik yang sudah menikah ataupun belum. (Catt:induok-induok dalam bahasa Melayu Kampar, atau induak-induak Melayu Kuantan diartikan perempuan yang telah menikah dan memiliki anak, namun dalam konteks tertentu, kata ini bisa diartikan “hanya kaum perempuan saja”, begitu juga dengan kata bujang yangbearti anak laki-laki yang belum menikah, sedangkan bujang gadih diartikan perjaka dan perawan. Sedangkan dalam randai, bujang gadih adalah seorang lelaki yang memakai pakaian layaknya seorang perempuan).
Setiap kelompok, yang disebut tobo, dipimpin oleh tuo tobo (ketua tobo/kelompok), dan anggota tobo disebut anak tobo. Anggota toboberkisar antara 20-40 orang.
Kegiatan batobo sendiri terbagi dalam beberapa bagian, 1) menyemulo, yaitu saat mencangkul lahan pertama kali; 2) membalik tanah, mencangkul lahan untuk kedua kalinya; 3) melunyah, yaitu menginjak-injak lahan dengan kaki (khusus sawah); 4) menanam benih; dan, 5) tahap memanen.
Batobo dilakukan ketika musim berladang dimulai. Jika musim penghujan, maka tahapan pekerjaan adalah menyediakan dan menanam benih. Musim kemarau mencangkul dan memanen. Pekerjaan batobo dimulai dari pagi hingga sore hari.
Untuk menghindari kejenuhan dan kelelahan bekerja, dalam Batobo selalu diiringi dengan berbagai hiburan tradisional yang ada dikampung tersebut minsalnya berkayat, gondang baraguong, bedondong, dan pantun batobo. Nah pantun batobo inilah yang divisualisasikan oleh tim kesenian Universitas Riau Pekanbaru dalam ajang tersebut. Pantun batobo adalah sejenis berbalas pantun namun dibawakan dengan digayakan (baca: dinyanyikan).
Penampinan yang apik. Menurut ketua rombongan dan juga pembina sanggar ini, Elmustian Rahman. “Guru mereka adalah “doktor-doktor” dalam bidang masing-masing, walaupun mereka tidak pernah kuliah di universitas,” cerita Elmustian bersemangat.
Visualisasi pantun botobo ini lanjutnya, juga pernah ditampilkan di Universiti Malaya Kuala Lumpur, Universiti Utara Malaysia Kedah, dan Shongkal of University Pattani Thailand dalam kegiatan Muhibah Seni Budaya Melayu Riau pada 19-23 Oktober 2009 tahun lalu.
Di Riau sendiri, selain pantun batobo, juga dikenal Tari Batobo yang terinspirasi dari kegiatan batobo. Namun Tari Batobo merupakan eskpresi kegembiraan masyarakat setelah masa panen tiba. Pola gerak, tata rias, tata busana, musik tari, serta pola tarimenggambarkan budaya masyarakat agraris, sederhana dan memikat. Kesederhanaan tersebut menunjukkan bahwa tari batobo adalah sebuah tari yang mempunyai pola tari yang bersifat kerakyatan.
Walau kini, batobo—juga puntun batobo tentunya—saat ini sudah sangat sangat jarang dilakukan (kalau tidak mau dikatakan tidak ada), tanah peladangan yang punah ranah dan rimbo larangan (hutan lindung) milik adat menjadi milik ‘asing’, saya langsung teringat sebuah poster yang terpajang dipintu masuk gedung Graha Shaba Pramana tempat Wisdom berlangsung, “Koba, (kabar-pen) Tetap Bertahan di Zaman yang Berubah” Semoga!

intan-intan Pulau Anggoda
toluak siantan solok aghu
acu santan adiok simpola
mano kan omuo bacampu bawu


(intan-intan Pulau Anggoda
toluak Siantan Solok Aghu
kakak santan adiak ampasnya
tidaklah mungkin akan bersatu)

Dan “nyanyian” berbalas pantun batobo pun dimulai*** 
14/12/2010]

Yogyakarta, Desember 2010



Leave reply

Silakan tinggalkan komentar dan saran Anda di ruang kosong di bawah ini.

Back to Top