Secawan Racun untuk Evily

Kau yakin! Tidak ada lagi
Air mata setelah perpisahan ini…

Apakah aku kekasihmu? Mestinya kau kirim setangkai mawar untukku sebelum pertemuan kita hari ini!
dan aku pun hanya bisa menangisi keputusannya seperti seorang geisha tua tak ada lagi lelaki mendekat, berharap di simpang jalan menuju kontrakkan berdiri lagi volvo biru plat merah, bukan sebuah kehangatan malam atau pagi esoknya aku tak tahu harus makan apa, pun ketika pertemuan dua tahun lalu di kota ini—kami selalu bertemu dan berpisah dikota ini—tak ada arti apa-apa lazimnya sebuah pertemuan yang mengharu biru, bahkan pertemuan itu hanyalah seperti perjumpaan di halte bis kota yang mungkin esoknya sudah lupa, paling tidak ia tak perlu berkata “aku rindu padamu atau “aku sebetulnya sudah lama berharap pertemuan ini” atau mungkin “kamu kok ngak berubah, janggutmu masih tipis dan kumismu selalu saja kau cukur”.


Paling ia hanya akan berguman datar tanpa ekpresi “pasti kamu tak berharap apa-apa denganku” Dan esoknya setelah pertemuan terakhir, ia berkirim pesan lagi tetap tanpa sebuah arti “aku berharap pertemuan itu tidaklah yang terakhir kali, setidaknya harus lebih baik”.



Sekian tahun setelahnya, ia pun merencanakan sebuah pertemuan terindah yang mungkin belum pernah aku rasakan, bahkan jika saja meminta kedatangannya dengan kapal pesiar mewah, ia akan datang dengan pesawat pribadi lengkap dengan pramugari cantik, atau kalau perlu ia akan menjelma sebagai pengemis jalanan jika saja seribu pengawal pribadiku menghalanginya, tapi setelahnya, pertemuan itu tetap saja sama, tak mengharu biru, apalagi air mata.


Ketika suatu saat ia lukis sebuah tato bergambar hati di dadaku, aku menganggapnya sebagai ucapan cinta dalam bentuk lain, esok paginya ketika lukisan itu menjelma menjadi sebuah apel dan kujadikan sebagai sarapan pagi, dari jauh ia akan tersenyum lega dan berucap lirih. Kau telah memakan hatimu sendiri.
Mungkin aku selalu salah mengartikannya

“Kenapa kau tak pernah bisa mencintaiku,

bukankah perempuan itu untuk dicintai?”

Akulah orang yang selalu meletakkan bunga dan sebuah puisi di meja belajarnya sebelum ia berangkat ke kampus dan memulai perkuliahan Psikologinya, dulu! di jalanan sepanjang ia tempuh, senyumnya selalu mengembang basah dan sekuntum bunga selalu terselip di tas kesayangannya, jika suatu saat sahabatnya bertanya, ia akan menjawab dengan satu kata yang membuat hatiku tak ingin mengulanginya namun besoknya tetap kulakukan lagi, “orang bodoh yang tak pernah kukenal”, padahal namaku selalu kutulis dengan tinta hitam di akhir puisi-puisi itu.


Mungkinkah aku bodoh…

Mungkin juga baginya aku pajangan etalase yang diletakkan di dekat aquarium di sudut kamar mewahnya, ketika hujan turun dan dingin, ia hanya akan berpikir betapa indahnya jika saja ada lelaki yang menemani mempersingkat malamnya. Atau mungkin ketika ia mengigau-ngigau namaku dalam sebuah mimpinya yang indah dan ketika ia terbangun tiba-tiba saja aku sudah ada di sampingnya membawa sekuntum bunga dan sebait puisi, setengah merintih kelelahan dia akan berkata, sebaiknya kau tak perlu datang di saat-saat seperti ini.

Kadang kuberpikir betapa rugi mengenalnya


Ketika kami belum sepakat tentang apa yang namanya cinta, ia pernah juga bercerita tentang Filologi serta aflikasinya dalam ilmu modern, menurutnya Filologi ilmu yang tak perlu dipelajari dan hanya memperlambat mahasiswa menyelesaikan studinya—mungkin ia pernah tak lulus mata kuliah tersebut—namun di lain waktu, ia pernah bercerita tentang teori kepunahan dinosaurus, menurutnya mahluk itu punah karena terjadinya tumbukan asteroid yang menyebabkan perubahan iklim, dinosaurus berdasarkan ilmu yang dipelajarinya memiliki sifat seperti beberapa jenis reftilia masa kini, yang perkembangan kelaminnya dipengaruhi temperatur saat berada dalam telur, perubahan iklim yang sangat dingin menyebabkan telur dinosaurus menetas sebagai hewan jantan, ketidakseimbangan jantan dan betina menyebabkan mereka punah, padahal dinosaurus telah sukses hidup di bumi selama hampir 200 juta tahun, lalu keadaan tiba-tiba berubah.


Namum ketika kujelaskan bahwa mahluk itu punah karena bunuh diri secara massal—kadang aku membuat lelucon agar ia tidak terlalu serius dengan hidupnya—ia diam. Menangis!


Februari, 2005

Ketika hari menjelang senja


“Namaku Evily, mungkin kau sudah mengenalku ketika kita sama-sama duduk dibangku kuliah dulu, berparas cantik dengan dua lesung pipit di pipi, terlalu mudah bagimu mengenaliku, kuliah di psikologi sementara kau keguruan, berbeda memang, tapi kita selalu sama, setidaknya itu kata teman-temanmu”.


Dilain waktu ia juga pernah berkirim surat!


“Aku melihatmu… terkadang seperti senja di balik desa! Ketika senja turun, kupikir kau bahagia, dan aku mengirimimu sekuntum bunga-bunga liar yang selalu kau ikat dan kau berikan untukku, dulu! ‘selamat ulang tahun’ katamu. Tapi, nyatanya aku salah! salah menafsirkanmu… kau tak bahagia dengan senja itu, aku memang tak pernah bisa mengartikanmu, tidak kau tahu, wanita lebih menginginkan dibohongi… dan kau takkan pernah bisa! Kau hanya mengirimiku bunga dan puisi-puisimu. Untuk apa?


Evily! Aku mengenalnya melebihi diriku sendiri. Terlahir dari keluarga modern namun hidup dalam kegamangan. Setiap hari ia selalu berpikir betapa beruntungnya mengenalku, namun setiap itu pula ia tak pernah tahu kapan bisa mencintaiku. Tak jauh dari rumahnya, di dekat jemuran kain warisan mendiang ayahnya, ia memiliki taman bunga yang isinya tak sebanyak bunga-bunga yang kukirim saban hari! Setiap pagi dan juga mungkin sore ia selalu ke sana walau hanya sekedar menjenguk dan sesekali memetik setangkai dari bunga-bunga itu—tergantung dari keinginan hatinya—taman itu tak terlalu luas memang, namun sangat terawat, ada dua pekerja yang ia sewa menjaga dan merawat bunga-bunga itu, kalau sedang galau ia tak segan-segan menyumpahi pekerjanya, namun jika senang hati, pekerja itu disanjung-sanjungnya.


(Tentang taman ini ada cerita mistik yang pernah ia ceritakan ketika pertemuan pertama dulu: konon ketika mendiang ayahnya masih hidup, setiap sore selalu saja ada dua gadis Eropa bergaun putih panjang seperti anak-anak Belanda pada umumnya yang selalu bermain di mata air kecil di sudut taman itu, namun ketika pekerja mendekatinya gadis-gadis itu menjauh lalu hilang di balik ilalang yang tumbuh di atas bukit kecil yang tak seberapa jauh di belakang rumahnya, sejak ayahnya meninggal kedua gadis itu pun tak pernah muncul lagi, konon menurut cerita gadis-gadis itu adalah putri-putri Belanda yang diselamatkan ayahnya ketika Belanda menyerah kalah kepada Jepang, untuk menyelamatkan nyawa sang putri dari kejaran tentara Jepang yang kejam, ayahnya menyembunyikan gadis-gadis tersebut di lubang bawah tanah dan membekalinya bebera makanan untuk sekian hari. Namun sialnya sang ayah tak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun dan ketika dipaksa menjadi pekerja rodi dan baru pulang beberapa bulan sebelum kemerdekaan sang ayah tak sanggup lagi membuka tempat persembunyian tersebut)


Tapi, bagiku cerita tersebut hanyalah sebuah lelucon.


Namun gara-gara taman itu, ia hampir pernah membunuhku, saat bunga-bunga kuganti dengan plastik—dengan begitu ia tak perlu lagi menyewa pekerja dan taman itu akan selalu indah untuk selamanya—seluruh pekerjanya kusuruh pulang, mungkin mereka sudah sekian lama tak pernah berjumpa dengan sanak keluarganya. Awalnya ia merasa bangga dengan bunga-bunga itu, ia pun berpikir tidak akan satu orangpun tahu bunga-bunga itu plastik, dan orang-orang akan menduga betapa indah dan terawatnya taman yang ia miliki. Awal yang baik menarik hatinya. Namun sekian waktu ketika bunga-bunga itu tetap saja seperti itu, selalu mekar tak pernah kuncup, layu, gugur, apalagi tumbuh atau tumbang ditiup angin. Ia mulai resah, ia rindu melihat bunga-bunga itu tumbuh alami, ia rindu bunga itu layu, gugur, lalu mati dan ditanami lagi oleh pekerja, lalu tumbuh lagi dan berbunga.
Ia rindu dengan keadaan semula, dan semua itu ia tuduhkan kesalahan padaku


Dan sekian tahun setelahnya, entah pertemuan yang keberapa, ia datang lagi, tapi tidak bercerita tentang tamannya, juga tentang bunga-bunganya—dari setiap surat-suratnya yang ia kirim, ia rindu dengan bunga-bunga plastik buatanku dulu, namun tak pernah meminta untuk dibuatkan lagi seperti itu—kali ini ia tidak membawa apa-apa, juga tidak bercerita apa-apa.


Desember 2005, 23:02

Malam sunyi akhir tahun


Aku akan tetap mengirimimu setangkai bunga dan sebuah puisi di meja belajarmu walau aku tahu kau entah akan pergi kemana”


Ia menoleh sesaat, kepergiannya yang entah keberapa kali kuanggap sebagai kecupan mesra yang esoknya kuletakkan lagi di sudut malam, dari jauh kulihat ia memanggil taksi namun setelah taksi berlalu ia tetap saja di sana.


“Berusahalah untuk tidak membohongi hatimu, bukankah kita sudah ditakdirkan bersama” aku berusaha mendekatinya, gaunnya ditepis angin malam namun senyumnya tak pernah merekah, mungkin ia bosan denganku.


“Takdir hanya menggariskan tentang kau, bukan kita”


“Bukankah takdir kita sama, tidak diletakkan di garistangan, dan juga tidak tertulis disuratan”


“Sebaiknya kau tulis saja puisi-puisimu dan kirimkan padaku esok, aku mungkin rindu dengan ceritamu”


“Aku tak lagi menulis cerita, juga puisi” Ia tertegun sesaat, dahinya ia kerutkan seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar, ia mendekat, aroma tubuhnya tercium wangi, bibirnya tidak lagi diolesi lipstik, ia kelihatan begitu sempurna.


“Sejak kapan tidak lagi menulis?” raut wajahnya begitu gugup, tidak seperti yang sudah-sudah, ia agaknya mulai tertarik dengan hidupku.


“Sejak aku tahu ternyata kau tak pernah peduli denganku”


“Siapa yang bilang? Bukankah selama ini aku yang mengunjungimu ke kota ini, bukankah aku yang selalu merencanakan pertemuan kita, yang selalu menghubungimu, yang selalu mengirimimu pesan, e-mail, faks atau apapun yang membuat kau bahagia”


“Tapi tak pernah mengakui kau membutuhkan aku”


“Kautak pernah sungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang kau mau dariku”


Aku terdiam! Lebih tepatnya kesal, mana mungkin pengorbanan yang telah aku lakukan ia anggap tak sungguh-sungguh, bukankah selama ini jika saja ia diculik Rahwana aku selalu datang menyelamatkannya sebagai Arjuna, bahkan jika saja ia meminta telaga aku akan membendungkannya dalam semalam, dan esoknya ketika ia terbangun dari tidurnya yang lelap sebuah perahu pun sudah tersedia dan ia akan menaikinya untuk sekedar pelepas lelah dikala ia bosan dan jenuh dengan rutinitasnya sehari-hari.


“Kau terlalu banyak hidup dalam hayalanmu, setelah sadar, baru kaumengerti ternyata sekelilingmu belum juga berubah, kau seharusnya tahu bahwa hidup adalah kenyataan, jangan pernah kau anggap aku sebuah dongeng yang dengan sesukamu kaubisa melakukan apa yang kaumau”


Aku terdiam lagi, bukan takut dengan brondongan kata-katanya yang seperti memekakkan telinga, melihatnya terkadang seperti sebuah lukisan mahakarya di atas kanvas kepalsuan, aroma nafasnya begitu hangat menggairahkan, kalau mau mungkin bisa kulumat bibirnya yang sensual namun kegamanangan selalu menghantuiku, ia berusaha menjauh tapi tetap kudekati karena kutahu ia menginginkan seperti itu. Di sudut matanya ia menginginkan aku menjawab semua pertanyaannya, namun tak kulakukan.


“Kapankau akan pergi dan mengerti diriku, bukankah aku yang selalu mencintamu”


Januari 2006

Awal tahun yang tetap sunyi


Dulu di kota ini, kami pernah bercerita tentang anak-anak, tentang masa depan, juga tentang rumah mungil yang dihiasi bunga-bunga yang kami bangun di pinggir kota, di belakang rumah akan mengalir sungai kecil yang airnya sejernih air mata anak-anak kami jika sedang menangis. Pasirnya putih, di kiri-kanan hanya ada sayur-sayuran hijau untuk kebutuhan sehari-hari, ikan-ikannya akan kami rawat seperti kami merawat buah hati kami dengan telaten, “Kalau perlu ikannya kita tangkap untuk sambal malam ya Bang!” ujarnya manja. Tak jauh dari situ, kami akan menanam dua kapling kebun karet untuk biaya anak-anak sekolah nantinya.


Kini semua itu samar-samar di kelopak mataku, semakin lama kian kabur dan akhirnya gelap. Entah pergi kemana.


Mungkin ini adalah pertemuan terakhir! Ia berjanji akan datang ketika tahun berganti dan semuanya akan tetap sama, katanya, kadang aku berpikir inilah awal dari segalanya, mungkin ia akan tetap pergi setelah ini atau aku menunggunya lagi…


Di secarik kertas sobekan struk belanja di mall yang baru solf opening, aku menulis pesan dan kuletakkan di meja belajarnya sama seperti waktu dulu, tapi tanpa sebuah puisi juga tanpa sekuntum bunga “Aku yakin! Tidak akan ada lagi air mata setelah perpisahan ini… di sudut sana ada secawan racun yang tak perlu dihiasi bunga kuletakkan di atas meja belajarmu bersama keju sarapan pagimu, ambillah atau kautidak akan pernah bertemu lagi denganku… Semuanya telah gelap, lalu sunyi!***



Pekanbaru, Awal 2006
Dipublikasikan Harian Riau Pos Oktober 2006



Leave reply

Silakan tinggalkan komentar dan saran Anda di ruang kosong di bawah ini.

Back to Top