Calempong yang Tak Lagi Bertingkah

SAYUP-sayup, suara itu seperti hari langsung dalam pesta nikah kawin. Hanya dalam beberapa menit saja, beberapa penduduk kampung berdatangan mendekat, mereka membentuk sebuah lingkuran, mengelilingi seseorang yang lagi bersemangat sedang memainkan beberapa alat-alat musik tradisonal. Beberapa tim ekspedisi terlihat sibuk dengan peralatan masing-masing, tidak menginginkan moment yang berharga itu hilang begitu saja.
“Anak-anak sini sudah tidak mau lagi berlajar calempong, mereka lebih tertarik belajar kibord (keyboard-pen), padahal alat-alat ini tergelatak begitu saja di rumah. Jika mau sayapun siap mengajari mereka”.
Lelaki tua yang memainkan musik tradisonal tadi memandang kami dengan tatapan kosong, tangan lihainya yang dari tadi selalu bergerak lincah tampak diam sejenak. Suasasana senyap seketika. Angota tim ekspedisipun saling berpandangan, beberapa penduduk juga menatap lelaki bersahaja itu. Seperti kami, mungkin mereka juga berharap apa lagi yang akan dilakukan Sang Pemain musik itu.
“Saya takut, suatu hari nanti calempong tidak dikenal lagi oleh anak-anak kami, saya sudah tua, siapa lagi pengganti saya”.
Kekuatiran kakek yang memiliki banyak cucu ini bukanya tanpa alasan. Sejak musik modern  ‘merajai’ kampung mereka, calompong yang sudah ratusan tahun keberadaanya di kampung mereka dalam waktu yang tidak berapa lama lagi tentu akan hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi yang bisa memainkanya.
Pak Tanaka, 60 tahun, adalah satu-satunya penduduk di Kampung Bakuang Bagondang yang sampai hari ini masih memainkan peralatan musik calempong. Kami bertemu dengannya seusai ia membersihkan surau di depan rumahnya, saat kami baru saja mendarat di tepian mandi miliknya. Setelah mengucapkan salam dan mejelaskan maksud kedatangan kami, Pak Tanaka dengan bersemangat bercerita tentang kampung dan alat-alat musik miliknya.
“Bapak jemput dulu ya, nanti bisa di foto?”, ujarnya ramah.
Setelah dikeluarkan, Pak Tanaka pun tanpa canggung memainkan peralatan musik itu, beberapa penduduk kampung yang mendengar langsung mendekat, tim ekspedi juga terkesima dengn musik yang dimainkannya.
“Calempong ini memiliki 6 anak, 5 buah di antaranya disebut anak calompong, dan yang ini disebut calempong tingkah, sebetulnya calempong sendiri ada 4 jenis”, tuturnya sambil memegang calempong tersebut dan melihatkannya kepada penulis.
Lebih lanjut, imam surau di Bakuang Bagondang ini bercerita, ia belajar memainkan calempong dari ayahnya yang juga pemain calempong. Sang Ayah juga belajar dari ayahnya atau kakek Pak Tanaka. Keahlian memainkan calompong menjadi budaya yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.
“Tapi sayang, anak saya tidak lagi mau belajar (calempong-pen)”, ujarnya sedih.
Dulu, ketika penduduk belum mengenal keyboard. Mereka selalu diundang dalam acara-acara nikah kawin, sunat rasul, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang ada di kampung mereka. Aktivitas Pak Tanaka bersama teman-temannya sehari-hari tidak lepas dari peralatan musik tradisional itu. Mereka tidak hanya diundang oleh masyarakat di kampungnya tetapi juga di kampung-kampung tetangga yang tidak jauh dari kampung mereka.
“Kalau memainkan calempong, juga harus dimainkan gendang dan gong, dulu pemainnya adalah teman-teman yang sebaya dengan Bapak, tapi sekarang mereka sudah tidak lagi”, kenang Pak Tanaka.
Kampung Bakung Bagondang terletak di posisi Lintang Utara 00053.159’ dan Lintang Selatan E 101036.188’ Desa Sei Mandau Kec. Sei Mandau Kabupaten Siak Sri Indrapura. Sama seperti Kampung Bakuang Bagondang yang terdapat di aliran Sungai Tapung Kanan, asal mula nama kampung ini juga berasal dari 3 pohong bakung yang berderet di pinggiran Sungai Mandau yang selalu berbunyi seperti bagondang (bergendang-pen) ketika menjelang magrib tiba. Lama-kelamaan penduduk menyebut tempat tersebut dengan Bakuang Bagondang.
Pak Tanaka melepas kepergian kami dari ‘dermaga kecil’ miliknya, perjalanan menyusuri Sungai Mandau kembali dilanjutkan, ia masih melambaikan tangan sebelum akhirnya hilang dibelokan sungai. Saya masih ingat lirih Pak Tanaka ketika ditanyakan pekerjaannya.
“Seperti biasa, selepas membersihkan surau, Bapak  ke kebun karet, tidak lagi bermain calempong, sebab tidak ada  lagi yang mau mendengar tingkahnya”.*** [Derichard H. Putra, Juni 2010]

Leave reply

Silakan tinggalkan komentar dan saran Anda di ruang kosong di bawah ini.

Back to Top