Pacu Jalur: Sebuah interpretasi

Pacu Jalur Telukkuantan-Riau.
PACU JALUR adalah sejenis lomba perahu dayung tradisional berukuran panjang 25-40 meter. Jalur terbuat dari pokok kayu besar utuh dari jenis kayu tertentu tanpa boleh dipotong, disatukan atau disambung dengan pokok kayu lain.

Awalnya jalur adalah sebagai sarana transportasi mengangkut hasil panen, namun kemudian berkembang sebagai acara hiburan yang di selenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Ketika Belanda masuk ke Rantau Kuantan pada 1905, Pacu Jalur dilaksanakan untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda Welhelmina setiap tanggal 31 Agustus. Saat ini pacu jalur digunakan untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.

Bagi masyarakat Kuantan, jalur merupakan perumpamaan sebuah negeri (desa), dan awaknya merupakan penduduk negeri tersebut.  Seperti halnya negeri yang memiliki struktur organisasi kemasyarakatan, jalur juga memilki struktur-struktur tersebut yang diwakili awak jalur yang mempunyai peran dan fungsi masing-masing.

Fungsi dan peran awak jalur adalah seorang orang tukang tari (penari), yang posisinya paling depan, merupakan simbol generasi muda yang akan meneruskan perjuangan dan pembangunan di suatu negeri. Di belakang tukang tari terdapat 4 orang tukang iriak kayuah (pengatur dayung), ini diibaratkan ninik mamak/penghulu. Ninik mamak/penghulu berfungsi sebagai contoh dan teladan, tempat bertanya dan berlindung. Begitu juga dengan tukang iriak kayuah, mereka merupakan tempat untuk melihat, sebagai penyatu gerakan dayung, apabila dayungnya tidak serentak, maka seluruh awak dibelakangnya juga akan tidak beraturan. 

Di belakang tukang iriak kayuah terdapat beberapa orang tukang kayuah(pendayung), ini diibarakan sebagai masyarakat umum. Di tengah-tengah terdapat seorangtukang timbo ruang (pembersih jalur, juga penyorak), berfungsi mengeluarkan air yang ada di dalam jalur, ia merupakan simbol kepala desa, yang berperan sebagai pelayan masyarakat sekaligus penggerak masyarakat untuk selalu giat bekerja. Di belakangnya terdapat beberapa orang tukang kayuah lagi yang juga yang merupakan masyarakat umum. Di belakangnya terdapat lagi 4 orang tukang pinggang (kemudi), yang berfungsi mengarahkan jalur untuk tetap lurus dan tidak berbelok ke arah  lawan. Ini diibaratkan sebagai Dewan Perwakilan Desa, yang bekerja sebagai pengawas dan yang menentukan arah kebijakan desa. Posisi paling belakang, dengan posisi berdiri, disebut Tukang onjai(penggerak), berfungsi sebagai pengawas seluruh tim dayung, ini disamakan sebagai Datuk Bisai, kepala suku tertinggi yang merupakan pengawas terhadap seluruh negeri yang ada dibawah kekuasaanya. Anak pacu (awak perahu) berkisar antara 40-60 orang.

Penghormatan Kepada Alam
Menyebut jalur, berarti harus berbicara tetang hutan dan sungai. Hutan merupakan “produsen kayu” sebagai bahan baku pembuatan jalur, dan sungai merupakan arena tempat pacuan jalur itu dilaksanakan. Keduanya merupakan syarat dan kebutuhan pokok, hingga tradisi pacu jalur bisa  bertahan dan berkembang hingga kini.

Alam bagi masyarakat Kuantan memiliki peranan yang sangat penting, delapan mata pencarian tradisional masyarakt yang dikenal dengan istilah tapak lapan (delapan mata pencarian), yaitu beladang, beternak, menangkap ikan, beniro (menetek enau), mengambil hasil hutan, berkebun, bertukang, dan berniaga. Hampir semuanya behubungan dengan alam.

Pada umumnya, masyarakat tidak hanya melakonkan satu jenis pekerjaan tertentu saja. Apabila pagi mereka berkebun, maka sorenya menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun, mereka mencari hasil hutan atau beniro (menetek enau).

Penggabungan dua atau lebih jenis pekerjaan ini merupakan kiat atau cara masyarakat berhubungan dengan alam. Ketergantungan ini, menjiwai prinsip hidup masyarakatnya, sehingga setiap hendak memanfaatkan hasil alam, selalu didahului ritual-ritual tertentu. Selain sebagai penyatuan diri, juga bentuk penghormatan kepada alam. Ada banyak banyak ritual dan upacara-upacara tertentu yang berkembang di masyarakat yang berhubungan dengan alam.

Menjaga hubungan dengan alam, berarti juga harus melestarikan hutan. Karena itu, masyarakat Kuatan membagi hutan dengan tiga klasifikasi, yaitu hutan tanam, hutan yang boleh dikelola dan dimanfaatkan hasilnya untuk kebutuhan ekonomi, dan rimbo larangan(hutan lindung), hutan ini tidak beoleh diambil larangantempat beruasah dan bekerja, hutan , berarit juga Hubungan yang kuat dengan alam, juga bearti harus  masyarakat memiliki Setiap masyarakat adat di Kuatan, memiliki hutan lindung sendiri yang mereka sebut dengan rimbo larangan. Hutan ini dijaga, dirawat dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentigan ekonomi kecuali untuk kepentingan umum seperti pembangunan masjid, mussolah, sekolah, balai adat, dan tentunya untuk pembuatan jalur. Bagi masyarakat adat yang tidak bisa menjaga hutan lindungnya dengan baik—dijaga dari segala kepentingan indivusu, tentu ia tidak bisa akan memiliki jalur sebab pokok kayu yang akan digunakan untuk jalur harus diambil hutan lindungn sendiri tidak boleh mengambil hutan lindung masyarakat adat lain.

Karena posisi alam yang begitu penting, maka jalur dianggap sebagai simbolisasi atas alam. Artinya setiap kenegerian (masayarkat adat) yang mempunyai jalur bearti mempunyai hutan. Dengan katal ain memiliki jalur mempunyai alam yang selalu dijaga.

Artinya, jalur adalah penghormatan kepada hutan itu sendiri, artinya dengan memiliki jalur bearti sebuah negeri bisa berkata dengan bangganya, inilah kami telah memiliki sebuah jalur, yang kami ambil dari hutan kami sendiri, karena kami telah menjaga hutan kami dengan sebaiknya.


Kekuatan dan Kekuatan Gaib
Jalur dimiliki oleh kenegerian (masyarakat adat), tidak milik individu atau milik desa.  Karenanya jalur adalah milik kolektif dari suatu masyarakat pemilik jalur itu. Melihat sebuahjalur—dipinggir jalan atau sedang mengikuti perlombaan, tidaklah sama artinya melihat sebuah “jalur” tanpa ada makna dan simbol-smbol dibalik keberadaan jalur itu. Dengan kata lain, jalur adalah sebuah pembuktian kekuatan dan juga sebuah simbol kekuatan dari suatu masyarakat pemilik jalur tersebut.

Kekuatan di sini tidak hanya kuat dalam mendayung hingga menjadi juara, atau “kuat” dalam merancang sebuah pokok kayu hingga menjadi sebuah jalur—arsitek misalnya. Tetapi kekuatan di sini diartikan “bisa” menaklukan “penguasa hutan”, atau “bisa” menguasai “penunggu” pokok kayu. Memilki sebuah jalur, berarti adalah memiliki sebuah kekuatan gaib, tidak memiliki jalur, berarti masyarakatnya tidak mempunya “ilmu” apa-apa. Dan masyarakat Kuantan bangga akan hal litu.

Dalam kepercayaan masyarakat, setiap kayu yang berumur ratusan tahun, yang akan dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan jalur, “dimiliki” atau “ditunggui” oleh penguasa hutan sebagai si empu pohon tersebut, “pemilik” pohon ini oleh masyarakat dikenal mambang (mahlus halus). Memiliki jalur, bearti sebuah komunitas masyarkat adat—dengan ilmu metafisikanya—telah mengusai mahluk halus tesebut.

Bagi masayarakat modern, ini mungkin irasional, tapi itulah masyarkat Kuantan, dengan segala tradisinya, hingga hari ini masih mempertahankan kepercayaan tersebut.

Begitu juga ketika pelombaan pacu jalur dipertandingkan, yang mendayung jalur, tidak saja awak-awak yang ada di dalamnya, tetapi juga kekuatan pawang jalur yang ada dibalik jalur tersebut. Kemenangan sebuah jalur, bearti juga kemenangan sang pawang. Pawang dan jalur seperti dua sisi mata uang,  harus ada dan saling melengkapi.

Kepercayaan kepada pawang merupakan bagian dari jalur itu sendiri. Pawang diposisikan sebagai tempat terhormat. Pawanglah yang menentukan kapan sebuah jalur harus dibuat, mencari pokok kayunya ke hutan, menariknya ke kempung, memberi nama jalur, menentukan tempat “rumah” jalur, dan kapan harus diturunkan jalur dari rumah ke sungai. Pawang merupakan bagian dari kekuatan itu.

Kekuatan pawang dengan metafisikanya, tentu tidak akan berguna jika tidak ada kekuatan lainnya yaitu masyarakat, maka untuk membuat jalur harus diperlukan kekompakan, kebersamaan, dan pengorbanan dari masyarakat. Namun hal tersebeut tidak akan tercipta jika tidak ada sang pawang di dalamnya.

Menarik sebuah kayu gelondongan yang besar ke tengah kampung, merancang sebuah pokok kayu yang besar dan keras, dianggap sesuatu yang mustahil, namun dengan keberadaan pawang, percaya diri masyarakat menjadi meningkat. Pawang dianggap—dengan ritualnya, sudah “menaklukan” atau telah meminta izin kepada “pemiliki” pokok kayu tersebut, sehingga bersedia menyerahkan kayunya dan membantu mengangkat kayu tersebet ke tengah perkampungan.

Harga diri; Marwah
Ketika sebuah jalur berada dalam arena pacuan, sesungguhnya kita tidaklah melihat sebuah pokok kayu besar dengan segala ukiran dan pernak-pernik lainnya, tidaklah melihat orang-orang yang ada di dalamnya, tidak juga pawang jalur yang “handal” dibelakangnya, tetapi yang berpacu di sana adalah harga diri, mempertahankan harga diri, dan meraih harga diri, yang oleh masyarkat Kuantan disebut dengan istilah marwah.

Kenapa harga diri? Sebuah jalur dibuat dengan proses yang sangat panjang, dimulai dari musyawarah pembuatan jalur, mencari kayu ke hutan (dengan kriteria dan jenis tertentu), semah (ritual) kepada pohon kayu yang telah ditentukan, menebang, membuat bentuk kasar jalur di dalam hutan, menarik jalur dari hutan ke perkampungan, memperindah jalur, pengasapan, dan uji coba jalur ke sungai.

Seluruh proses tersebut melibatkan seluruh strukutur masyarakat, dirancang dan dibangun oleh  ahli-ahli yang ada dalam masyarakat tersebut, biaya yang tinggi, menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.

Apakah sampai di sini? Tentu tidak. Jalur yang telah diuji coba di sungai belum tentu bisa digunakan sebagaimana mestinya. Ada kalanya jalur itu pecah, retak, dan patah. Jika itu terjadi. Maka proses pembuatan jalur harus diulang lagi dari awal lagi.

Jika sebuah jalur telah selesai diuji coba dan laik digunakan, prosedur selanjutnya adalah mengukir jalur, mempercantik, mengecat, dan membuat rumah jalur.

Proses yang panjang dan rumit tersebut menjadikan masyarakat seakan “sehati” dengan jalur, menganggapnya sepetri seorang anak, menjaga dan merawatnya dengan hati-hati.

Tidaklah mengherankan, jika jalur kalah dalam pertandingan, mereka menangis di pinggir sungai, berteriak-teriak tidak karuan, tawuran massal, saling melukai. Bagi mereka, kalah dalam bertanding sama halnya dengan kematian seorang anak.

Jika sebuah jalur menjadi juara, maka itulah adalah “kehebatan” seluruh komponen masyarakat. Dan jika kalah, berarti adalah kegagalan dalam sebuah komunias masyarakat tersebut*** [Derichard H. Putra]

Leave reply

Silakan tinggalkan komentar dan saran Anda di ruang kosong di bawah ini.

Back to Top